Admin

Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Perspektif Agama Buddha

Posted on June 4, 2022

Krishnanda Wijaya-Mukti

Materi Studi Pendalaman Agama Islam, Kristen, Buddha, LPKM – Universitas Negeri Jakarta, 21-23 Sept. 2001.

EPISTEMOLOGI

Epistemologi mempelajari dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan manusia. K.N. Jaya­tilleke menge­lom­pok­kan pemikir-pemikir di India sebelum Buddha dalam ti­ga aliran, yaitu: kaum tra­disionalis, rasionalis dan eksperiensialis.[1] Kaum tradi­sio­nalis ada­lah para brahmana yang memegang otoritas kesakralan dari Weda yang diungkapkan secara ilahi. Mereka menu­run­kan seluruh pengeta­huan­nya dari tradisi kitab suci dan penaf­sirannya. Kaum ra­sionalis mene­kan­kan pemikiran (takka) atau argu­men logika (naya). Pengeta­huan itu berupa pemikiran atau spekulasi, tidak menggunakan per­sepsi ekstra­sensori. Kaum eksperiensialis ber­san­dar pada pengeta­huan pri­badi secara langsung, dan pengalaman, termasuk di dalamnya per­sepsi ekstrasensori.

Pertimbangan yang Kritis

Kritikan Buddha terhadap wahyu dan beberapa sumber pengeta­huan lainnya dapat diketemukan dalam Canki-sutta. “Bharadvaja, ada lima hal yang mempunyai akibat dua muka dalam kehidupan ini. Apakah ke­li­ma hal itu? (Pengetahuan berdasarkan) kepercayaan, se­lera, wahyu, argumentasi, perenungan dan per­setu­juan pada suatu teori yang dipikirkan . . ., sekalipun jika mendengar sesuatu berda­sar­­kan wahyu yang paling da­lam, ada kemungkinan kosong, tidak berla­ku dan keliru, padahal di pihak lain apa yang tidak didengar ber­da­sarkan wahyu yang paling dalam, ada kemungkinan nyata, benar, dan bukan lainnya. Bha­radvaja, ti­daklah te­pat bagi seseorang yang cerdas, melindungi kebenaran, mengambil kesimpulan secara kate­gorik bah­wa hanya inilah yang benar, dan semua yang lainnya keliru. . . . Jika seseorang telah men­dengar, kemu­dian mengatakan inilah yang telah aku dengar, ia melindungi kebenaran, sepanjang tidak se­cara kategorik mengambil kesim­pulan bahwa hanyalah ini yang be­nar, dan semua yang lainnya keliru” (M. II, 170).

Di sini Buddha menegaskan bahwa suatu teori yang berlandaskan tradisi, atau wahyu, dapat benar atau ke­liru. Dengan tidak adanya ja­minan atas kebenarannya atau kekeliruannya, tidaklah tepat untuk ter­gantung pa­da tradisi atau wahyu sebagai sumber yang sahih bagi pe­ngetahuan. Oleh sebab itu seseorang patut de­ngan kritis menyang­si­kan dan me­nunda keputusannya untuk memastikan keadaan sebenar­nya dari realitas. 

“Perhatikan Kalama: Jangan engkau lekas percaya begitu saja pa­da suatu berita, atau sesuatu yang me­ru­pakan tradisi, atau apa yang hanya didengar. Jangan engkau percaya begitu saja apa yang tertulis dalam kitab-kitab suci, juga apa yang katanya sesuai dengan logika atau penalaran semata-mata, atau apa yang katanya hasil penelitian atau setelah direnungkan cocok dengan suatu teori, atau dugaan agak­nya akan mungkin terja­di, atau pula terdorong karena ingin menghor­mati seorang guru petapa yang menganutnya. Tetapi Kalama, ka­lau setelah kauselidiki sendiri, kauketahui hal ini tidak berguna, hal ini tercela, hal ini tidak dibenarkan oleh orang-orang bijaksana, hal ini kalau dilakukan dan dijalankan mengakibatkan ke­rugian dan penderi­taan, maka selayaknya engkau menolaknya, Kalama” (A. I, 189). 

Sikap kritis yang sama dipakai oleh Buddha menghadapi teori-teori kaum rasionalis. Dalam Sandaka-sutta, Buddha mengemukakan bah­wa jika seorang guru yang mengajarkan kebenaran tergantung pa­da la­poran, wah­yu, tradisi, otoritas kitab suci, orang bisa ingat se­ba­gian dan lupa sebagian lagi, dapat benar, dapat juga keliru. Jika guru itu seorang pemikir dan peneliti, ia mengajarkan hasil dari pemikiran dan spekulasi, mungkin ada yang benar, mungkin juga ada yang ke­liru (M. I, 520). Benar atau salahnya suatu teori me­ngenai realitas tidak dapat diputuskan oleh keajekan pikiran. Kadangkala suatu teori yang telah dipikirkan dengan baik dapat keliru setelah dibandingkan ter­hadap kesatuan kenyataan dan teori yang dipikirkan tidak baik dapat benar. Kebenaran pemikiran seharusnya tidak dipakai sebagai satu-satunya kriteria bagi ke­benaran.

Apa yang ditangkap oleh indera adalah sumber-sumber utama dari pengetahuan dan pengertian tentang du­nia. Namun persepsi indera me­­­mi­liki keterbatasan, dan bisa keliru. Dalam hal penglihatan mi­salnya, per­sep­si yang tidak tepat atas suatu objek dapat mengha­silkan ilusi (vipallasa). Ilusi timbul karena ke­keliruan pen­cerapan yang meng­amati (sanna-vipallasa), kekeliruan pikiran yang menge­nali (citta-vipallasa), dan kekeliruan pandangan yang membentuk gagas­an (ditthi-vipallasa).[2] Sebagai akibat dari kekeliru­an ini, timbul pen­da­pat yang tidak benar tentang kekekalan, kebaha­giaan, keindahan dan keakuan. 

Ada empat konsepsi pengelompokan (ghana) yang merintangi pengamatan sehingga terjadi kekeliruan, yaitu: (1) konsepsi kesi­nambungan (santati-ghana); (2) konsepsi keseluruhan atau kesatuan wujud (samuha-ghana); (3) konsepsi kesatuan fungsi (kriya-ghana); dan (4) konsepsi kesamaan objek (arammana-ghana). Konsepsi ter­sebut menurut Jayasuriya, dapat di­bandingkan dengan hukum kesi­nam­bungan (continuity), keterdekatan (proximity), ketertutupan (clo­sure) dan hukum kesamaan (similarity) dalam peng­amatan menurut teori psikologi yang dikenal sekarang.[3]

Konsepsi kesinambungan menghalangi seseorang memahami ke­be­naran tentang kesementaraan dari segala sesuatu. Apa yang ter­jadi pada satu momen dipandang berlangsung terus. Seperti sebuah sumber ca­haya yang diputar terlihat sebagai satu lingkaran cahaya. Mata telan­jang melihat sebuah garis tidak terputus, padahal jika dilihat memakai lensa pembesar, ternyata merupakan serangkaian titik yang terpisah satu sama lainKonsepsi keseluruhan meli­hat suatu komponen atau bagian seba­gai satu kesatuan yang dianggap utuh. Apa yang dina­ma­kan tangan sebenar­nya terdiri dari jari-jari, telapak tangan, dengan tulang, sendi, otot dan seba­gainya. Apa yang disebut sebuah kereta seharusnya terdiri dari banyak komponen. Konsepsi kesatuan fungsi menerima satu fungsi dalam satu per­buatan, padahal seharusnya terdapat sejumlah fungsi dan gerakan. Kaki yang me­langkah ke depan terlihat sebagai satu gerakan, padahal sebenarnya terdiri dari banyak gerakan, naik, maju, dan turunKonsepsi kesamaan objek melihat sasaran dari suatu hal yang sa­ma dan mengabaikan perbe­da­an­nya. Apa yang dikelompokkan sama berwarna merah misalnya, sebenarnya berbeda intensitas warna, ber­beda jenis ukuran dan bentuknya. Pengamatan atas seberkas sinar men­jadi jelas dengan bantuan sebuah prisma, bah­wa sebenarnya ter­da­pat sejumlah warna.

Indera tidak berdiri sendiri, tetapi secara internal saja setidak-tidaknya berkaitan de­ngan aspek kesehatan dan aspek kejiwaan, se­perti kepekaan perasaan, emosi, praduga dan imajinasi. Embusan angin yang terasa nyaman bagi orang yang sehat, akan terasa lain ba­gi orang yang sakit.[4] Jelas persepsi indera dapat memberi pema­haman yang tidak tepat. Hal ini terutama disebabkan oleh cara yang telah mengkondisikan ma­nusia sedemikian rupa dalam menafsirkan apa yang dia lihat, dengar, rasakan dan sebagainya.

“Kesadaran penglihatan muncul bergantung kepada organ peng­lihatan dan objek penglihatan; pertemuan dari ketiganya adalah kon­tak; karena kontak muncullah perasaan. Apa yang ia rasakan, ia ce­rap; apa yang ia cerap, ia pikirkan; apa yang ia pikirkan, meng­goda­nya. Apa yang membuatnya tergoda merupakan sumber dari sejumlah persepsi dan godaan yang menyerbunya dalam kaitannya dengan objek-objek terlihat yang dapat dikenali oleh organ penglihatan, di masa lalu, masa yang akan datang dan sekarang (M. I, 111-112). Apa yang disebut godaan adalah keinginan rendah (tanha), kecongkakan (mana) dan pandangan dogmatis (ditthi).[5]

Penganut eksperiensialis tergolong petapa. Kebudayaan petapa ber­­­­­­beda dengan tradisi brahmana. Para pe­tapa menekankan pengeta­huan dan pengertian tentang individu ketimbang pengorbanan atau upacara agama dan pengetahuan akan dunia luar. Titik berat pada pe­nger­tian realitas yang ada dalam manusia mungkin me­rupakan hasil langsung dari latihan konsentrasi yoga, yang merupakan aspek ter­penting dari cara pertapaan. Tetapi tidak semua petapa tergolong eks­periensialis, seperti penganut materialis, walau mengaku petapa, me­nyangkal akan kesahihan persepsi ekstrasensori dan intuisi yoga.[6]

Verifikasi Pembenaran

Dalam pencariannya Buddha Gotama menjalani praktik pertapaan dan meditasi yoga. Karena itu Ia me­nya­dari adanya kekuatan ekstra­sensori yang dapat dikembangkan dengan cara-cara tersebut. Tetapi ber­beda de­ngan praktisi eksperiensialis lain, Buddha menyadari kon­templasi yoga dan kekuatan eks­tra­sensori juga ter­batas kemam­puan­nya, seperti persepsi indera yang memiliki keterbatasan sebagai sum­ber pengetahuan. Menu­rut Buddha, kekuatan-kekuatan ekstra­sensori disalahgunakan oleh para petapa yang merumuskan teori-teori me­ta­­fisika tentang keadaan sesungguhnya dari realitas, meskipun teori-teori itu sebenarnya tidak dapat disu­sun berdasar per­sepsi ekstra­sensori tersebut. 

Brahmajala-sutta mengungkapkan misalnya, sebagai hasil kon­­sentrasi yoga, orang-orang yang mem­per­oleh kekuatan ekstra­sensori menyusun bermacam-macam teori yang bertentangan satu sama lain. Ada yang menyatakan jiwa dan jagat adalah kekal abadi, atau dunia diciptakan oleh Brahma. Ada yang menyatakan se­ba­gian kekal, seba­gian tidak kekal, dan sebagainya. Buddha menolak spe­kulasi sema­cam itu (D. I, 12-22).

Buddha tidak memandang isi dari pengetahuan ekstrasensori iden­tik dengan realitas terakhir apa pun. Pe­nge­tahuan demikian tidak di­ang­gap mengandung pembebasan. Apa pun pe­nge­tahuan yang diper­oleh melalui persepsi ekstrasensori adalah alat untuk mencapai tu­juan, bukan tujuan itu sendiri. Jika pengetahuan itu di­warnai dengan kesu­kaan atau ketidaksukaan seseorang, akan membentuk berbagai keper­ca­yaan dog­matik yang akan menghalangi seseorang untuk meli­hat realitas sejati dan mencapai kebebasan sempurna melalui ke­tidak­melekatan. Sebaliknya, bila tidak dirintangi kesukaan atau ketidak­sukaan, pengetahuan ini akan meno­long seseorang untuk memahami realitas dan mencapai kebebasan sempurna.[7] Masalahnya, bagaimana mung­kin manusia melepaskan pandangannya sendiri yang mereka hargai sebagaimana mereka mengaturnya, di­bimbing oleh kehendak hati dan dipikat oleh kesukaan-kesukaannya? (Sn. 781).

Prasangka subyektif menimbulkan bias pada persepsi atau penger­tian sese­orang tentang kebenaran. Selain perasaan suka dan tidak suka, ter­dapat hal lain yang membuat seseorang tidak bisa melihat se­suatu sebagai­mana adanya, yaitu ke­inginan yang mengikat (chanda), ke­bencian (dosa), kegelapan batin atau kesesatan (moha), dan keta­kutan (bhaya). Karena keempat hal ini, orang tidak akan mencapai pembe­basan (A. II, 18). Praktik meditasi dapat menolong seseorang untuk menyingkirkan berbagai prasangka subyektif ini. 

Konsentrasi mental (samadhi) dapat dikondisikan secara kausal, dan konsentrasi men­­tal ini yang menjadi penyebab berkembangnya persepsi ekstra­sensori (A. I, 254), sehingga memungkinkan seseorang memeriksa ke­ada­an sebenarnya dari realitas, yang beberapa aspek da­rinya tidak da­pat dicapai secara sempurna oleh per­sepsi indera biasa. Perbedaan antara kedua bentuk persepsi agaknya dalam tingkatan penembusan.[8]

Perkembangan persepsi ekstrasensori (abhinna) dipandang seba­gai suatu kejadian kausal (dhammata) yang wajar (A. V, 3). Pengeta­huan dan kekuatan ekstrasensori yang dimaksudkan ada­lah: (1) psiko­kinesis atau kesaktian (iddhividha-nana); (2) clairaudience atau teli­nga batin (dibbasota-nana); (3) telepati (cetopariya-nana); (4) retro­kog­nisi atau mampu mengingat tumimbal-lahir yang lalu (pubbeniva­sanussati-nana), (5) clairvoyance atau mata batin (dibbacakku-nana), dan (6) pengetahuan tentang penghancuran kotor­an batin (asava­kkhaya-nana) (A. III, 280).

Dalam ajaran Buddha, dikenal dua sumber pengetahuan, yaitu in­fe­rensial (anumana) dan eksperiensial (pativeda/ pratyaksha). Fakta-fakta atau bukti dan kesaksian (sruti), melalui penarikan kesimpulan berdasar logika, merupakan sebuah tipe inferensial.[9] Ketika ditanya oleh Mahakotthita, Sariputra, siswa utama Bud­dha, menjelaskan bah­wa pengertian yang benar dapat diperoleh dari kesak­sian orang lain, dan perenungan yang tepat secara bijaksana (M.I, 294). Sariputra sen­diri pertama kali memahami intisari ajaran Buddha dari kesaksian Assaji. 

Kesaksian merupakan langkah pertama untuk memperoleh penge­tahuan. Kesaksian ini antara lain laporan atau petunjuk dari orang lain. Kritikan Buddha terhadap laporan hingga wahyu sebagai sumber pengetahuan, ditujukan kepada mereka yang berpendapat bahwa itu­lah satu-satunya sumber pengetahuan yang sahih. De­ngan demi­kian, ke­saksian dari orang lain harus diverifikasi atau diperiksa lebih lanjut, untuk memastikan apa­kah benar atau salah. Pemeriksaan dilakukan de­­ngan membandingkannya terhadap pengalaman sese­orang. Pe­re­­nung­an yang benar melalui praktik meditasi mengandung baik penga­laman maupun pemi­kiran. Jadi Buddha memandang pengalaman, baik sensori ataupun ekstra­sensori, dan pemikiran atau penarikan kesim­pulan yang berlandaskan pe­ngalaman sebagai sumber-sumber penge­tahuan.[10]

Buddha menunjukkan berbagai sumber pengetahuan memiliki ke­terbatasan dan kesahihan. Penekanan pada keterbatasan semua sum­ber pengetahuan dimaksudkan untuk mencegah orang jatuh ke dalam teori yang spe­ku­latif. Kesangsian itu wajar, tetapi menjadi keliru jika terjerumus ke dalam skeptisisme mutlak, yang me­man­­dang bahwa manusia tidak dapat mencapai kepastian mengenai apa pun. Keragu-raguan yang berlanjut adalah salah satu bentuk kotoran batin (kilesa) yang menghalangi seseorang untuk mencapai tingkat kesucian. Bud­dha tidak mengajarkan agnostisme, yang melihat ma­nusia itu ke­ku­rangan informasi atau kemampuan ra­sional sehingga tidak dapat me­ngerti apa pun secara pasti mengenai realitas terakhir. Setiap ma­nu­sia justru me­miliki potensi untuk mencapai kesempur­naan dengan usaha­nya sendiri. 

Objektivitas diperlukan tidak hanya dalam fakta yang dianggap se­ba­gai kebenaran, namun juga dalam si­kap dari orang yang men­ca­rinya. Kebenaran sejati adalah objektif dan seseorang dapat mende­katinya hanya de­ngan sikap batin yang objektif. Kepada Ananda Bud­dha menyatakan bahwa pengetahuan yang objektif atau penge­tahuan tentang sesuatu seperti apa adanya, adalah pengetahuan yang tertinggi (A. V, 37).

Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan bagi umat Buddha, diper­oleh lewat pe­nga­laman dan akal sehat diri sendiri secara holistik dan objektif. Ini mirip metode dalam ilmu pengetahuan modern, kecuali bahwa agama Bud­dha memperluasnya menjadi suatu studi mengenai pikiran dan panca indera. Kepercayaan, kitab suci, mis­­­tik, dan wahyu tidak dianggap sebagai jalan mutlak menuju tujuan akhir.

METAFISIKA

Cabang filsafat ini berhubungan dengan hal-hal yang nonfisik atau tidak kelihatan, suatu studi tentang sebab-sebab terakhir dan unsur-unsur yang membentuk realitas. Yang dimaksudkan sama dengan ontologi, studi tentang seluruh kenyataan atau segala sesuatu sejauh itu “ada”. Apa yang dipandang sebagai me­tafisika dalam filsafat modern, tidak semuanya dipandang demikian oleh Buddha. Misalnya me­nge­nai isi Abhidharma, antara lain unsur-unsur yang membentuk realitas dan Nirwana sebagai Realitas Terakhir; atau kesinambungan kepriba­dian manusia, sebab musabab yang saling bergantungan (paticca­samuppada) dan keseragaman kausal (dhammata). Di luar itu, me­ngenai apa yang benar-benar metafisika, Buddha tidak mem­perkenan­kan para biku mempelajarinya (Vin II, 139).

Buddha tidak menerima realitas di luar jangkauan indera biasa dan pengalaman (termasuk ekstrasensori) yang tak terungkapkan. “Lepas dari data indera, tak ada kebenaran yang bermacam-macam dan abadi dalam dunia ini. Setelah mengorganisasikan pikirannya sendiri dalam kaitannya dengan anggapan-anggapan meta­fisika, (kaum sofis) ber­kata tentang dua hal, kebenaran dan kekeliruan” (Sn. 886). 

Kata-Nya, “Para Biku, Aku akan mengajarkan tentang se­gala se­suatu. Dengarkan, apakah segala sesuatu itu? Mata dan bentuk materi, telinga dan bunyi, hidung dan bau, lidah dan rasa, badan dan objek-objek sen­tuhan, pikiran dan objek-objek mental. Semuanya ini di­sebut segala sesuatu. Para Biku, ia yang mengatakan, ‘aku akan me­nolak segala sesuatu ini dan menyatakan segala se­suatu.yang lain,’ barangkali dapat mengemu­kakan teorinya sendiri. Tetapi bila diper­tanyakan, ia tidak dapat menjawab dengan baik dan selanjutnya akan menjadi subyek dari kejengkelan. Mengapa? Karena hal itu tak akan ter­masuk dalam jangkauan pengalaman” (S. IV, 15). 

Orang-orang yang berselisih pendapat karena menganut pandang­an metafisika berbeda-beda di­ban­dingkan oleh Buddha seperti orang buta sejak lahir. Mereka berpikir terbatas menurut apa yang diketa­huinya dan buta terhadap kenyataan-kenyataan lain. Orang buta itu masing-masing me­raba kepala gajah, telinga, belalai, ba­dan, kakinya dan lain-lain. Yang satu mengatakan bahwa gajah itu seperti jam­bang­an, yang lain mengatakan se­perti tampah, bajak, dinding lum­bung, tiang, dan sebagainya (Ud. 68-69).

Brahmajala-sutta mengemukakan enam puluh dua pandangan me­tafisika yang ditolak oleh Buddha. Menu­rut-Nya, siapa saja yang ber­spekulasi mengenai hal-hal tersebut, semuanya terjerat dalam ja­ring pandangan itu. Mereka terjerumus di dalamnya, terperangkap di da­lamnya (D. I, 45). Berdasar pengetahuan langsung dan pengalaman sendiri Buddha mengetahui sampai di mana spekulasi tersebut, apa yang ingin diperoleh, apa ha­silnya, apa saja akibat yang timbul di kemudian hari bagi mereka yang mempercayainya (D. I, 29).

Pertanyaan yang Tak Dijawab

Berbagai spekulasi metafisika itu dapat dikenali pula da­lam ru­mus­an sepuluh pertanyaan klasik yang diajukan antara lain oleh Vaccha­­gotta dan Malunkya­putta. Kesepuluh pertanyaan tersebut me­ngenai apakah: (1) dunia kekal; (2) dunia tidak kekal; (3) dunia ter­batas; (4) dunia tak terbatas; (5) hakikat jiwa dan tubuh adalah sama; (6) hakikat jiwa adalah satu hal yang lain dari tubuh; (7) Tathagata ada setelah parinirwana atau mangkat; (8) Tathagata tidak ada setelah mangkat; (9) Tathagata ada dan tidak ada setelah mangkat; (10) Ta­thagata bukan ada dan bukan pula tidak ada setelah mangkat. Buddha berpendapat, bahwa me­mi­kirkan atau membi­cara­kan hal itu akan jatuh pada sua­tu pandangan spekulatif, bertahan pada satu pandangan, mengha­dapi belantara pandangan, liku-liku pandang­an, pertentangan pan­dangan, belenggu pandangan; hal tersebut diser­tai kesukaran, kejeng­kel­an, penderitaan, kegelisahan; hal itu tidak mem­­bawa pem­be­basan atau kete­nangan, penghentian, keda­maian, penge­tahuan ter­tinggi, pe­ne­rangan atau Nirwana. Buddha Gotama melihat­nya seba­gai rintang­an, karena itu Ia tidak berbicara apa pun mengenai pandangan-pandangan spe­kulatif ter­sebut (M. I, 485-486)

Ketika Malunkyaputta mendesak terus dengan kesepuluh per­ta­nya­annya, Buddha menceriterakan sebuah perumpamaan tentang orang yang terluka kena anak panah beracun. Sewaktu orang-orang akan meno­long­nya, ia tidak menghendaki anak panah itu dicabut sam­pai apa yang ingin ia ketahui terjawab. Ia ingin tahu siapa yang me­lukainya, apa identitas, sifat-sifat hingga asal usul orang yang me­manah itu, apa jenis sen­jatanya hingga detail. Padahal, jika peng­o­bat­an tertunda, ia akan keburu meninggal sebelum memperoleh ja­wab­an. Jawaban-jawaban dari pertanyaan spekulatif tidak me­nyum­bangkan apa-apa bagi orang yang me­nuntut kehidupan suci dan tidak menga­rah pada berakhirnya penderitaan (M. I, 429-431).

Acela Kassapa mengajukan empat pertanyaan yang juga tidak di­jawab oleh Buddha. Pertama, apakah pen­deritaan disebabkan oleh di­ri sendiri? Kedua, apakah penderitaan disebabkan oleh yang lain­nya? Keti­ga, apakah penderitaan disebabkan baik oleh diri sendiri maupun yang lainnya? Keempat, apakah penderitaan disebabkan bukan oleh diri sendiri dan bukan juga oleh yang lain? Untuk semua pertanyaan tersebut, Bud­dha menjawab: “Jangan berkata demikian”, alih-alih me­nyangkal, yang biasanya dikatakan sebagai: “Bukan demikian”. Bud­dha sendiri menjelaskan.alasan dari jawaban itu (S. II, 18-19).

Pernyataan pertama, maksudnya penderitaan bersebab-akibat sen­diri, mendukung teori kekekalan (eter­nalist),yang menganggap ada diri yang kekal atau tidak berubah sehingga mengabaikan faktor-faktor selain diri yang ikut menimbulkan penderitaan (teori pemikir Upanisad). Pernyataan kedua, penderitaan bersebab akibat eksternal, mendukung teori pemusnahan (annihilationist), berjalan ke ekstrem lain dengan menyangkal sama sekali pengaruh kausal dari keinginan dan tanggungjawab manusia (teori kaum materialis). Pernyataan ke­tiga, kombinasi kedua pemikiran itu membawa serta kedua impli­kasi tadi yang tidak akan menghasilkan teori yang empirik. Pernya­taan yang terakhir, mengenai indeter­minisme, atau tidak ber­sebab akibat.[11] Apa yang diajarkan oleh Buddha adalah sebuah para­digma baru, yaitu sebab musabab yang saling bergantungan. 

Mengikuti jalan pikiran Buddha, teori-teori metafisika dikritik ka­rena berlandaskan pemikiran apriori tan­pa dasar empirik. Seorang peng­­a­nut metafisika, tidak memiliki pengetahuan langsung, berusaha memastikan ter­le­bih dahulu objek pengetahuan yang seharusnya itu yang bagaimana, tanpa pernah puas dengan apa yang diketahuinya.[12]Menghadapi pertanyaan metafisika yang tidak relevan dengan praktik untuk mencapai kebe­basan, Buddha pun memilih diam. 

Keterbatasan Bahasa

Sikap Buddha ini dapat juga dimengerti dilihat dari persoalan lain, yaitu bahasa kita menghadapi keter­batasan. Ketika ditanya oleh Vaccha­­gotta mengenai apa yang terjadi pada seorang Arahat setelah meninggal dunia, Buddha menjawab bahwa pertanyaan itu tidak dapat dipertimbangkan, karena pernyataan-pernyataan “terlahir”, atau “ti­dak terlahir”, “terlahir dan tidak terlahir” atau “bukan terlahir dan tidak terlahir” tidak ber­laku, atau tidak dapat dipergunakan. Buddha memberi perumpamaan, jika api padam, apa dapat dinya­takan ke arah mana api itu pergi? Realitas Terakhir tidak dapat diterangkan secara logika atau diuraikan secara kon­septual (M. I, 486-487).

Kepada Ananda. Buddha juga menjelaskan bahwa bagi mereka yang menca­pai kebebasan, percaya pada salah satu dari keempat pernyataan tentang keadaan Arahat setelah meninggal dunia tersebut absurd. Te­tapi bagi seorang biku yang telah mencapai kebebasan melalui pan­dangan terang, “ia tidak mengetahui, ia tidak melihat” itu adalah mus­tahil (D. II, 68).

Ada hal-hal tertentu yang memang tidak pernah bisa dikatakan. Ini kurang lebih tesis Wittgenstein dan Heidegger. Ludwig Wittgenstein (1889-1951) menga­takan, bahwa tentang apa yang tak bisa kita bica­rakan, kita harus diam.[13]Tetapi diam itu bisa bukan tidak berarti apa-apa. Transmisi jiwa ajaran Buddha menu­rut tradisi Zen dilakukan tan­pa kata-kata. Di tengah keheningan ketika berbagai kelompok murid menunggu-Nya berkhotbah, Buddha hanya mengangkat sekun­tum bu­nga berwarna emas. Tidak ada yang memahami mak­nanya, ke­cuali Mahakasyapa yang tersenyum.[14] Itu­lah sebuah warisan di luar kitab-kitab suci, yang tak ber­gantung pada kata-kata dan aksara; lang­sung mengarah pada pikiran manusia, yang me­ngerti hakikat dirinya sen­diri dan menyadari kebuddhaan. 

Hal ini mengingatkan kita pada kata-kata Martin Heidegger (1889-1976): Berkata dan berbicara tidaklah identik. Seseorang bisa saja bicara banyak tapi tidak mengatakan sesuatu pun. Orang lain mung­kin tinggal diam saja, tetapi tanpa bicara ia justru mengatakan banyak hal . . . berkata berarti menyingkapkan, men­jadikan terlihat dan ter­dengar.[15]

Buddha memandang bahwa pernyataan-pernyataan meta­fisika me­ngan­­dung kata-kata yang tidak berda­sar atau tak ada artinya. Kalimat-kalimat itu sesuai dengan aturan tata bahasa, tetapi tidak bermakna, walau mampu membangkitkan respons emosional yang kuat pada orang-orang tertentu. Kepada Potthapada Bud­dha menjelaskan bagai­mana manusia membuat pernyataan yang tidak berdasar tersebut. Ada petapa dan brahmana yang menyatakan bahwa setelah mati jiwa itu benar-benar bahagia. Buddha bertanya kepada me­reka tentang sejauh mana biasanya mereka merasa benar-benar bahagia di dunia ini. Me­reka tidak dapat mempertahankan perasaan bahagia barang se­tengah hari pun dan tidak tahu bagaimana caranya merealisasi keba­ha­giaan itu. Mereka juga tidak pernah mendengar sendiri kesaksian para dewa yang telah lahir kembali di alam bahagia. Karena itu pernyataan me­re­ka tidak ada artinya. 

Agar menjadi lebih jelas, Buddha memberi ilustrasi tentang sese­orang yang mengucapkan bahwa ia men­cintai wanita yang paling cantik di dunia. Kalau orang lain bertanya kepadanya, apakah ia tahu siapa wanita yang paling cantik itu, bagaimana ukuran tubuhnya, apa warna kulit­nya, di mana dia tinggal, ba­gaimana asal usulnya, dan sebagainya; orang itu akan menjawab tidak tahu. Bukankah orang yang dia cintai itu tidak dike­nalnya, bahkan tidak pernah dilihatnya? Kesimpulannya, kata-kata yang diucapkan itu tidak mengandung arti apa-apa (D. I, 192-193)

Pemahaman mengenai bahasa menjadi hal pokok untuk mencari dan mengungkapkan kebenaran. Dengan bahasa manusia tidak hanya berpikir dan memahami dunia, tetapi juga membentuk realitas. Baha­sa meng­ekspresikan imajinasi, hal-hal yang bersifat artistik, dan dipa­kai untuk melakukan persuasi, yang sarat de­ngan berbagai ke­pen­tingan. Bahasa juga dipandang memiliki kekuatan magis seperti hal­nya mantra-mantra. Dan sebuah nama bisa mengandung makna mis­tis. 

Dalam agama Buddha, bahasa berperan lebih sebagai alat penge­nalan, tidak sebagai realitas itu sendiri. Con­tohnya apa yang diucap­kan oleh Buddha: “Subhuti, butir-butir debu yang dikatakan Tatha­gata itu bu­kanlah butir-butir debu, namun hanya untuk bahasa per­cakapan dinamakan butir-butir debu, begitu juga jutaan dunia yang dikatakan Tathagata itu bukanlah dunia, itu pun hanya diberi nama dunia” (Vajracchedika-prajnaparamita-sutra 13). Realitas ada da­lam penga­laman yang sering kali tidak terjangkau oleh kata-kata. Bahkan dikatakan bahwa semua hal bersi­fat ilusi, karena kata-kata dan ucap­an adalah ilusi. Semua orang bijak tidak melekat pada kata-kata (Vi­ma­la­kirti-nirdesa-sutra III).

Ada hal-hal yang dapat dialami sekaligus dipikirkan dan dinyata­kan secara tepat dalam kata-kata. Ada pula hal-hal lain yang mes­kipun dapat dialami, mengatasi gagasan dan kata-kata. Paling banter hal-hal itu bisa diindikasikan atau disimbolkan atau diisyaratkan. Misalnya realitas atau aspek realitas yang dinamakan “Nir­wa­na”, atau “Pencerahan”, “Kebuddhaan”, atau “Ketuhanan”. Istilah-istilah ini hanya digunakan untuk se­men­tara, yang memberi sejumlah tertentu petunjuk, gagasan tentang arah yang harus kita tuju. 

Bahasa pada dasarnya adalah konvensi. Menurut Buddha sese­orang seharusnya tidak merusak dialek baha­sa dan menyimpang dari batas-batas perjanjian linguistik (M. III, 230). Dalam praktiknya se­lain menghadapi persoalan semantik, pema­kaian bahasa bersifat sub­yektif, kata-kata bisa berubah arti dan bersi­fat situasional. Buddha bertanya kepada seorang perempuan, “Dari mana engkau datang?” Orang itu menjawab, “Aku tidak tahu, Tuan.” Buddha bertanya lagi, “Kemana engkau akan pergi?” Pe­rempuan tersebut menjawab sama, “Aku tidak tahu.” Mereka yang men­de­ngarnya menganggap perem­puan itu tidak waras. Belakangan Buddha men­jelaskan interpretasi dari percakapan tersebut. Pertanyaan dari mana engkau datang, diarti­kan oleh perempuan itu: “Apa kelahiranmu terdahulu”, atau dari ma­na ia berasal sebelum dilahirkan di dunia sekarang. Pertanyaan ke mana engkau akan pergi, diartikan “Di mana engkau akan dilahirkan setelah kehidupan ini”. Jenis inter­pretasi peng­gunaan kata-kata seper­ti ini dari sudut pandang orang yang sa­ling berinteraksi diantisipasi dalam pemikiran Buddhis.[16]

Pemikiran filsafat dan keagamaan sering diungkapkan dalam ben­tuk metafora. Metafora adalah pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berda­sarkan persa­maan atau perbandingan (Kamus Besar Bahasa Indone­sia). Cara manusia untuk memahami alam dan dirinya dilakukan melalui meta­fora, yaitu mempersamakannya dengan se­suatu yang lain, yang lebih dime­ngertinya, yang sebenarnya bukan hal itu sen­diri. Pola bernalar yang sesuai dengan kondisi dasar antropo­logis macam ini adalah retorika. Metafora bukan hanya bentuk se­mantik tertentu, melainkan merupakan kondisi da­sar antro­pologis.[17]

Setiap bahasa mengatakan sesuatu. Tetapi mengatakan sesuatu de­ngan metafora, justru tidak persis me­maksudkan apa yang eksplisit dikatakannya. Sugiharto memberi contoh: “manusia adalah seekor se­ri­gala”. Ki­ta tidak lantas membayangkan sosok fisik seekor serigala dengan telinga mencuat dan tubuh berbulu. De­ngan metafora tersebut kita memaksudkan bahwa manusia itu buas dan cenderung memangsa manusia lain. Tetapi bisa pula orang-orang dengan kultur berbeda mengartikan lain.[18] Untuk menghindari distorsi inter­pretasi, bila Bud­dha memakai metafora, biasanya diberi penjelasan yang menun­tun agar kita berpikir ke arah tertentu yang tepat. Misalnya, “orang bijak­sana disamakan dengan seekor lebah,” diterangkan pula maksud­nya, yaitu “mengumpulkan madu dari bunga-bunga tanpa merusak warna maupun baunya”. 

Kata-kata mempunyai posisi yang mendua. Sisi yang positif, kata-kata sangat di­perlukan untuk ber­komunikasi dan membuat kita men­ja­di manusia. Sisi yang negatif, kata-kata mempunyai tiga keter­ba­tas­an: (1) menciptakan suatu dunia palsu; (2) bahkan jika penga­laman kita pada umumnya dijelaskan dengan kata-kata secara tepat, hal itu tidak pernah memadai; (3) seluruh bentuk pengalaman kita yang pa­ling luhur berada di luar jangkauan kata-kata.[19]

Makna lebih penting dari kata-kata harfiah (M. II, 239). Karena itu dapat di­mengerti kalau Buddha meng­I­zinkan para siswa-Nya untuk mempe­lajari ucapan atau ajaran Buddha sesuai dengan dialek atau bahasa masing-masing (Vin. II, 139). Setelah Buddha tiada, muncul ber­macam-macam aliran dalam agama Buddha yang menggunakan ba­­­ha­­sa masing-masing. 

Dua Terminologi

Ada dua tingkatan realitas, yaitu kebenaran umum atau kebenaran relatif yang bersifat konven­sional (samvrti-satya) dan kebenaran mu­tlak (paramartha-satya). Istilah samvrti (meliput dan meng­­­ha­­lang) menggantikan istilah sammuti (sesuatu yang meliputi). Suatu konsep dipandang menyerupai kulit luar yang meliputi suatu inti, keadaan yang sebenarnya. Kebenaran mutlak adalah sesuatu yang ditu­tupi oleh konsep konvensional. 

Buddha pun berbicara memakai dua macam terminologi. Yang sa­tu bahasa konvensional, yang dipakai sehari-hari; dan yang lain ba­hasa teknis yang impersonal dan analitis. Istilah “manusia” dalam ba­ha­sa sehari-hari adalah “lima agregat kehidupan” (panca-khandha) dalam ba­ha­­sa teknis. Hal ini dapat dibandingkan dengan “air” yang disebut “H2O”. Uraian tentang realitas terakhir khususnya dihimpun dalam Kitab Abhi­dharma, yang penyampaiannya menggunakan gaya ilmiah atau langsung (nippariyaya-desana), sedangkan Kitab Sutta dan Wi­na­ya memakai gaya bercerita (sappariyaya-desana). 

KEMUTLAKAN DAN KENISBIAN

Buddha menolak berbagai kepercayaan dan praktik keagamaan se­belumnya, dan membabarkan ajaran-Nya sendiri yang diperoleh le­wat Penerangan Sempurna. “Di antara semua jalan, Jalan Mulia Ber­unsur Delapan adalah yang terbaik; di antara semua kebenaran, Em­pat Kebenaran Mulia yang terbaik; Di antara semua keadaan, bebas dari hawa nafsu adalah yang terbaik; di antara semua makhluk hidup, orang yang waskita adalah yang terbaik. Inilah satu-satunya jalan. Tidak ada jalan lain yang dapat membawa kesucian pandangan. Ikuti­lah jalan ini, yang da­pat mengalahkan mara. Dengan mengikuti jalan ini, engkau dapat mengakhiri penderitaan. Aku mengajarkannya se­te­lah Aku me­nge­tahui jalan inilah cara membuang duri-duri nafsu” (Dhp. 273-275). Kepada Subhadda, murid-Nya yang terakhir, Buddha mengatakan bahwa di luar Jalan Mulia Berunsur Delapan tidaklah mung­kin dikete­mukan orang yang mencapai kesucian (D. II, 151).

Apa yang dinamakan kebenaran seharusnya tidak berubah-rubah. Seperti air, selalu basah, di masa yang lalu, sekarang dan di masa yang akan datang pun tetap basah. Di sini, di sana, di mana saja air basah. Tidak seorang pun, sekalipun berbeda agama, golongan, bang­­sa, budaya, paham politik, menyangkal kebenaran bahwa air itu ba­sah. 

Ajaran agama diterima oleh pemeluknya secara estafet. Setelah pem­bawa agama yang menjadi penghu­bung atau utusan Tuhan tidak lagi berada di tengah-tengah umatnya, pasti petunjuk-petunjuk yang dibawanya dapat mengalami perubahan interpretasi. Apabila penga­nut­nya menyepakati suatu interpretasi tunggal, inter­pretasi tersebut menjadi absolut di kalangan mereka, sebaliknya jika mengandung ber­­bagai kemungkinan makna, maka ia menjadi relatif. Kesepakatan interpretasi tunggal dapat ditolak oleh kelompok lain, sehingga pan­­dangan tersebut absolut bagi kelompok yang satu, tetapi tidak untuk yang lain. Absolusitas dapat ber­tingkat-tingkat.[20]

Di mana sebenarnya unsur kemutlakan yang hakiki? Dalam agama wahyu, Yang Mutlak hanyalah satu, Allah sendiri. Agama terdiri dari unsur Ilahi dan unsur-unsur manusiawi. Wahyu tidak pernah dapat di­koreksi, tetapi iman orang-orang beragama, ibadat mereka, paham mereka tentang ajaran dan hukum agama selalu akan mencerminkan selain wahyu Ilahi juga paham-paham, prasangka-prasangka, keter­batasan-keterbatasan kultural dan kognitif manusia yang menampung wahyu itu dalam iman mereka. Agar agama menemukan kembali re­le­vansinya di zaman yang baru, ia perlu direaktualisasikan. Reaktuali­sasi itu menuntut antara lain kesediaan untuk mengakui relativitas ekspresi-ekspresi dan interpretasi-interpretasi agama tradi­sional.[21]

Kebenaran Mutlak dalam agama Buddha adalah Dharma yang ab­solut (asankhata), Realitas Terakhir atau Tertinggi, yang tidak ber­­sya­­­rat atau berkondisi. Segala sesuatu yang terdiri dari paduan unsur, tidak bersifat esa, tidak kekal, yang bisa ber­ubah, pasti tidaklah ber­sifat mutlak. Kepercayaan dan berbagai bentuk ritual yang dikenal se­bagai agama Buddha terkait dengan kon­disi, diwarnai tradisi dan bu­daya, berubah-ubah dari waktu ke waktu. Lagi pula agama dalam ke­nyataannya hadir sebagai organi­sasi. Agama sudah dikuasai dan di­bentuk oleh manusia dengan sifat-sifat keakuannya dan tak ter­hin­darkan dari disparitas penganutan. Di situ segalanya jelas bersifat re­latif. 

Dewa Sakka bertanya kepada Bhagawa, apakah semua petapa dan brahmana memiliki dan mengajarkan doktrin, praktik keagamaan, prospek dan tujuan yang sama? Jawab Buddha, tidak. Dunia terdiri dari banyak unsur dan beranekaragam, sedangkan orang-orang me­lekat pada salah satu unsur itu, sehingga memper­tahankan bahwa: inilah satu-satunya yang benar, dan yang lainnya salah (D. II, 282). Setiap orang dapat mempertahankan kebenarannya sendiri, namun ti­daklah tepat jika ia memutlakkannya tanpa mempertim­bangkan ke­ter­batasannya. 

Distingsi kemutlakan dan kenisbian ini perlu untuk memahami per­­­samaan dan perbedaan agama-agama (atau juga aliran agama). Bi­la tidak ada persamaan pada agama-agama, kita ti­dak akan me­nye­butnya de­ngan nama yang sama: agama. Bila tidak ada perbedaan di antaranya, kita pun tidak akan menyebutnya dengan kata majemuk: agama-agama. Schuon mencari titik temu agama-agama dengan me­narik garis pemisah antara yang esoterik dan yang eksotrik. Kesatuan berbagai agama terjadi pada tingkat esoterik, ter­sembunyi dan ber­sifat misteri. Dalam agama Buddha sendiri, Dharma dan Winaya di­nyatakan sama seperti cahaya matahari dan bulan yang dapat disaksi­kan oleh semua orang, sesungguhnya tidak mengandung hal-hal yang dirahasiakan (A. I, 282). Apa yang disebut esoterik seharusnya tidak pernah dirahasiakan. Orang yang menge­tahuinya bukan tidak mau men­jelaskan, melainkan karena kebenaran itu terbenam dalam tim­­bunan unsur manusiawi, hal itu tidak bisa dije­laskan secara meyakin­kan kepada orang banyak, sehingga sepertinya tersembunyi.[22]

Berhadapan dengan Kebenaran Mutlak, kita menyadari keter­ba­tasan kita. Kemutlakan bukan milik kita. Sebagai konsekuensinya kita tidak berhak menjadi hakim atas keyakinan orang lain. Meskipun ti­dak dapat membenarkan kepercayaan dan praktik keagamaan lain, se­seorang yang memahami relativitas agama tidak akan mengu­tuk­nya. Pengikut agama-agama yang berbeda dapat bersepakat untuk tidak sepakat dan belajar membangun sikap saling menghormati dan me­ma­hami. 

KONSEP KETUHANAN

Buddha mengajarkan Ketuhanan tanpa menyebut nama Tuhan. Tuhan yang tanpa batas, tak terjangkau oleh alam pikiran manusia, tidak diberikan suatu nama, karena nama itu dengan sendirinya akan memberi pembatasan kepada Yang Tidak Terbatas. Seperti yang dikatakan oleh Ibn al-‘Arabi, Allah sebagai Dzat yang Absolut dan Mahagaib sesungguhnya tidak memerlukan nama. Dan kalau pun Yang Absolut itu diberi nama, kata Lao-Tzu, maka nama apa pun tak ada yang tepat. Demikian pula de­finisi tentang-Nya, sebab jika yang Absolut bisa didefinisikan, maka ia tidak lagi absolut.[23]

Buddha mengungkapkannya seba­gai berikut: “Pa­ra Biku, ada Yang Tidak Dilahirkan (ajata), Yang Ti­dak Men­jelma (abhuta), Yang Tidak Diciptakan (akata), Yang Mutlak (asan­khata). Para Biku, apabila tiada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Di­ciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan ada ke­mung­kinan untuk be­bas dari hal-hal berikut ini, yaitu kela­hiran, penjelmaan, penciptaan, pembentukan dari sebab yang lalu. Tetapi, para Biku, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Men­jelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka ada kemung­kinan untuk bebas dari hal-hal berikut ini, yaitu ke­lahiran, penjel­maan, pencip­taan, pembentukan dari sebab yang lalu” (Ud. 80-81).

Sifat-Sifat Tuhan

Yang Mutlak atau Absolut sering diartikan Yang Esa. Rumusan mengenai Realitas Terakhir, Tertinggi ini menunjukkan si­fat Tuhan Yang Mahaesa. Dalam agama Buddha, Tuhan tidak dipandang sebagai suatu pri­ba­­di (personifikasi), tidak bersifat antropomorfisme (pengenaan pe­nger­tian ciri-ciri yang berasal dari wujud ma­nusia) dan antropo­pa­tisme (pengenaan pengertian yang berasal dari perasaan manu­sia).[24] Antro­po­morfisme dan antropopatisme telah menimbulkan ber­ba­gai upa­cara persembahan, mulai dari sajian yang sederhana se­perti ma­kanan, hing­­ga kurban binatang. Persembahan itu dimaksudkan un­tuk me­muas­kan makhluk yang dipandang mempunyai perasaan, se­nang atau marah misalnya, dan memiliki kekuasaan me­nentukan na­sib manusia. Dengan bertambah peliknya upacara kurban, timbul satu ke­las brah­mana yang bertindak sebagai penghu­bung anta­ra manusia dan dewa.[25]

Dewa-dewa di surga bukanlah makhluk yang ber­­kuasa mem­beri­kan ber­kah kepada pemujanya, atau pun sebaliknya memberi hukum­an. Buddha men­des­­­krip­si­kan bah­wa dewa merupakan sa­lah satu je­nis makhluk, yang hidup di sur­ga, se­ba­gai hasil dari peri­laku mo­ral pada masa lalunya. Jana­vasabha-sutta dan Maha­govinda-sutta misalnya mengung­kap­kan kesaksian tentang kela­hiran di surga. “Para dewa dan penguasa surga Tava­timsa semua­nya gembira, semuanya meng­hormati Tathagata dan Dharma. Di sini mereka melihat para dewa yang baru lahir, elok dan ber­ca­haya, karena mereka telah melaksa­nakan penghidupan suci yang diajar­kan oleh Sugata” (D. II, 208). Sakka (Indra pada pantheon sebelumnya), ke­­pa­la dari semua dewa, ketika hidup se­bagai ma­nu­sia telah me­­laksanakan tu­juh jenis keba­jikan, yaitu memelihara orangtua­nya; menghor­mati ke­pa­la keluarga; berbaha­sa halus; ti­dak meng­­­umpat atau memfitnah; mengucapkan kebe­naran; tidak per­nah marah; bersih dari noda dan keakuan, murah hati, meng­hin­dari kedunia­wian (S. I, 228).

Buddha tidak mengajarkan Teisme fatalistis dan determinis yang me­nempatkan suatu kekuasaan adi­kodrati merencanakan dan menak­dir­kan hidup semua makhluk. Teisme semacam itu mengingkari ke­hen­dak bebas manusia dan dengan sendirinya sewajarnya juga menia­dakan tanggungjawab moral perbuatan manusia. Dalam Brahmajala-sutta dikemukakan bagaimana Buddha melepaskan diri dari perang­kap jala pendapat yang diang­gap spekulatif, antara lain paham semi eternalis yang memandang Brahma sebagai Bapa pencipta yang ber­kua­sa menentukan tempat setiap makhluk (D. I, 18 ). Jika ada suatu makhluk yang merancang ke­hidupan seluruh dunia – kemuliaan dan kesengsaraan, tindakan baik dan tindakan yang jahat – maka manusia tidak lain adalah alat dari kehendaknya dan tentu makhluk itu yang bertanggung-jawab (Ja. V, 238). Juga berbagai pe­ris­tiwa kejahatan (dan mala petaka) tidak dapat dijelaskan seandainya Teisme deter­minis itu benar. Misalnya, seandainya Brahma yang mahabaik adalah mahakuasa, mengapa ia menciptakan ketidak­adilan (Ja. VI, 208). 

Teisme dalam agama Buddha melihat Tuhan Yang Mahaesa atau Yang Mutlak sebagai Yang Maha­tinggi, Mahaluhur, Mahasuci, Ma­ha­­sempurna, kekal atau tanpa awal dan tanpa akhir. Sebagai ke­kuatan yang me­nguasai dan mengatur alam semesta, konsep Dharma untuk Tuhan Yang Mahaesa (atau Maha­kuasa), bukan­lah suatu pribadi. Se­lain itu konsep ke­tuhanan dalam agama Buddha tidak mengenal dua­lis­me. Tuhan yang mem­punyai sifat Maha Pengasih (Brahma­vihara) misalnya tidak mung­kin juga pemarah.

Ibn al-‘Arabi berpendapat bahwa Tuhan itu ada dua macam. Yang pertama, Tuhan yang diciptakan, bisa diketahui secara berbeda-beda pada masing-masing orang sesuai kapasitas intelektual dan penga­laman religius masing-masing. Yang kedua, Tuhan yang sebenarnya, adalah rahasia dan tersembunyi, dan tak satu gelintir orang pun me­ngetahui-Nya. Dia-lah Dzat yang tak terbatas, mutlak, dan maha­besar. Inilah sebe­narnya Tuhan yang hakiki, yang tidak bisa dijang­kau oleh nalar dan imajinasi manusia.[26]

Buddha Transenden

Bagi mereka yang menganggap Buddha dilahirkan sebagai orang Hindu dan me­ninggal juga sebagai orang Hindu, Buddha adalah salah satu Awatara. Awatara berarti titisan atau perwujudan Tuhan Yang Ma­ha­esa dalam memulihkan ketenteraman dunia. Kitab Purana me­nye­butkan ada 10 Awatara dan Buddha adalah Awa­tara yang kesem­bilan.[27]

Jamshed Fozdar melihat padanan berbagai sabda Buddha dalam Upanisad, Bhagawad Gita dan Weda. Menurutnya, untuk memahami makna sebenarnya dari sabda-sabda Buddha, kita harus mempelajari­nya dalam konteks pemikiran Hindu India. Ia berusaha membuktikan bahwa Buddha adalah benar Makhluk Ilahi, seperti Buddha-Buddha sebelumnya yang dianggap sama de­ngan Awatara-Awatara, menga­jarkan Dharma yang sa­ma.[28]

Namun umat Buddha tidak memandang Buddha sebagai Awata­ra. Sekalipun diakui dalam suatu masa ter­tentu hanya muncul seo­rang Sammasambuddha (Vbh. 336), Buddha sendiri tidak pernah me­nya­ta­kan diri-Nya Awatara. Buddha lebih dipandang seba­gai se­orang manusia, ma­nusia yang luar biasa.[29] Hal ini mudah dime­ngerti, kare­na setiap orang memiliki potensi untuk menjadi Bud­dha. 

Thubten Chodron melihat ada tiga cara pandang mengenai siapa sebenarnya Buddha. Cara yang pertama, melihat-Nya sebagai Buddha historis, yang dilahirkan sebagai manusia dan kemudian meninggal dunia. Ia seorang penunjuk jalan, yang sekaligus memberi contoh ke­pada manusia. Cara yang kedua adalah dengan memahami Buddha se­bagai manifestasi keluhuran yang transenden, yang muncul dalam berbagai bentuk dan simbol untuk berbagai fungsi. Ada banyak Bud­dha yang masing-masing menonjolkan salah satu aspek dari nilai-nilai kebuddhaan. Hakikat dari semua manifesta­si yang beragam se­sung­guh­nya adalah sama. Cara yang ketiga memahaminya sebagai Buddha masa mendatang, yang muncul dalam diri kita, karena kita semua memiliki potensi untuk menjadi Buddha.[30]

Berbagai pernyataan Buddha sendiri dapat memberi gambaran yang lebih lengkap mengenai Buddha transenden. Seorang petapa, Dona namanya, bertanya-tanya tentang diri Buddha Gotama. “Yang Mulia tentu adalah seorang dewa” katanya. “Tentu saja bukan, Pe­tapa, Aku bukan dewa” jawab Buddha. Dona bertanya lagi, dan Buddha menjawab bahwa Ia bukan gandarwa, bukan pula yaksa. Akhirnya Dona berkata, “Yang Mulia tentu seorang manusia.” Bud­dha menjawab, “Tentu saja bukan, Petapa, Aku bukan manusia.” Bud­­­dha meng­­gambarkan diri-Nya bagai sekuntum bunga teratai yang elok, tidak menjadi kotor karena air lumpur. Ia tidak dicemari segala kotoran duniawi, karena itu Dia adalah Buddha (A. II, 37). 

Di hadapan Upaka, Buddha mengucapkan syair yang isinya antara lain bahwa Ia adalah Penakluk yang melampaui segalanya, Yang Mahatahu, telah mengatasi kematian berkat kekuatan diri-Nya sendiri. Dalam dunia dengan para dewanya, tidak ada seorang pun yang menyamai dan menandingi-Nya. Ia tidak mempu­nyai guru. Ia sendiri adalah Guru yang Tertinggi, karena Yang Sempurna di dunia (Vin. I, I,8). Buddha menyata­kan Ia tidak mempunyai guru, padahal sebelum men­capai Penerangan Sempurna, sebagai seorang petapa, Ia pernah ber­gu­ru kepada Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta. Jelas kita ha­rus mem­bedakan sosok Sidharta Gotama dengan Buddha Gotama. 

Buddha terlahir karena kasih kepada dunia, untuk kepentingan, ke­se­jahteraan dan kebahagiaan dari para dewa dan manusia (A. I, 22). Ia berprasetia untuk menyelamatkan semua makhluk. “Para Biku, Aku adalah Brahmana, tempat makhluk-makhluk mendapatkan perto­long­an, senantiasa dengan tangan terbuka yang suci, menggunakan badan jasmani-Ku yang terakhir, seorang dokter dan ahli bedah yang tiada bandingnya. Kalian adalah anak-anak-Ku sendiri yang sejati, terlahir dari mulut-Ku, terlahir dari Dharma, tercipta oleh Dharma, mewarisi hal-hal batiniah, bukan keduniawian” (It. 100). “Mereka yang belum selamat, akan Aku tuntun men­jadi selamat. Mereka yang belum men­capai kebebasan, akan Aku bawa mencapai kebebasan. Mereka yang belum tenteram, akan Aku buat menjadi tenteram. Me­reka yang be­lum mencapai Nirwana, akan Aku tuntun mencapai Nir­wana. Aku memahami dunia sekarang ini dan dunia yang men­datang sebagai­mana keadaan yang sesungguhnya. Aku Ma­ha­tahu, Maha Me­li­hat, memahami Jalan, Pembuka Jalan, Pem­babar Jalan itu. Datang­lah ke­pada-Ku, kalian semua, para dewa, manusia, asura dan lain-lain untuk mendengarkan Dharma” (Sad­dhar­ma­pundarika-sutra V)

Sifat adikodrati seorang Buddha dapat dilihat dari berbagai muk­jizat, apakah itu gejala alam atau kekuatan supernatural yang ditun­jukkan sejak saat kelahiran-Nya. “Ananda, bila dikehendaki-Nya, Ta­thagata dapat memperdengarkan suara-Nya sampai sistem alam se­milyar tata surya raya ini, atau me­lebihinya jika Ia mau (A. I, 226).

Ketika Buddha menjelaskan mengenai delapan jenis himpunan,[31] Ia berkata, “Sebelum Aku duduk di sana atau bersabda kepada me­reka atau memulai suatu percakapan dengan mereka, Aku biasa mem­buat pe­nampilan-Ku sama dengan mereka, bersuara menyerupai suara mereka. Kemudian Aku biasa memberi petun­juk, membangun­kan se­mangat, mendorong dan menggembirakannya dengan uraian Dharma. Namun mereka tidak mengenal Aku ketika Aku berbicara, serta ta­nyanya, siapa gerangan yang berbicara demikian? Seorang ma­­nu­sia ataukah dewa? Setelah memberi petunjuk, membangunkan se­ma­ngat, mendorong dan menggembira­kan mereka dengan uraian Dhar­ma, Aku pun menghilang. Namun mereka tidak mengenal Aku sam­pai Aku menghilang sekali pun, serta tanyanya, siapa gerangan Dia yang telah menghilang itu? Seorang manusia atau­kah dewa?” (D. II, 109).

Tathagata jelas bukan apa yang dilihat sebagai manusia. Buddha bersabda, “Subhuti, jika ada orang me­nga­takan Tathagata itu datang atau pergi, duduk atau berbaring, orang tersebut tidak mengerti akan mak­sud ajaran-Ku. Mengapa? Karena Tathagata tidak datang dari mana-mana pun tidak pergi ke mana-mana. Oleh sebab itu Ia disebut Tathagata.” (Vajracchedika-prajna-paramita-sutra 29). “Barangsiapa meng­iden­tifi­ka­si­kan Aku dengan suatu bentuk yang terlihat, atau men­cari-Ku melalui bunyi yang terdengar, orang itu se­be­narnya ber­ja­lan menyim­pang dan tidak akan dapat melihat Tathagata yang se­jati” (Vajracchedika-prajna-paramita-sutra 26).

Dalam Agganna-sutta, yang memberi gambaran tentang evolusi dunia, tercatat kata-kata Buddha sebagai berikut: “Vasettha, barang­siapa berkeyakinan teguh kepada Tathagata, berakar, kokoh, kuat dan mantap, se­buah keyakinan yang tidak dapat ditumbangkan oleh pe­tapa, brahmana, dewa, Mara, atau Brahma, atau siapa pun juga di dunia ini, dapat menyatakan, ‘Aku ini sesungguhnya putra Bhagawa, dilahirkan dari mulut-Nya, dilahirkan dari Dharma, diciptakan oleh Dharma, ahliwaris Dharma. Karena apa? Oleh karena, Vasettha, nama-nama berikut ini adalah serupa dengan Tathagata: Tubuh Dhar­ma (Dharmakaya), Tubuh Brahma, Perwujudan Dharma dan Perwu­judan Brahma”(D. III, 84).

Konsep Dharmakaya ini juga ditunjukkan oleh pernyataan Buddha kepada Vakkali, “Barangsiapa melihat Dharma, ia melihat Aku. Ba­rang­siapa melihat Aku, ia melihat Dharma” (S. III, 120). Pada ke­sempatan lain Buddha berkata, “Semenjak saat ini, semua siswa-Ku harus tahu bahwa Dharmakaya dari Tathagata adalah kekal” (Maha­parinirvana-pacchimovada-sutra 20). Dalam naskah Pali disebutkan ucapan Buddha di hadapan Ananda, “Apabila Tathagata menghen­daki, Ia dapat hidup sepanjang satu masa-dunia atau sampai akhir dari masa-dunia yang sedang berlangsung ini” (D. II, 103). Namun dalam naskah Sanskerta Tathagata itu dipandang selamanya ada. “Demi­kian­lah, semenjak Aku menjadi Buddha di masa yang telah lama ber­lalu, masa hidup-Ku adalah sebanyak asamkheya-kalpayang tak ter­ba­tas, selamanya akan ada dan kekal abadi (Saddharma­pundarika-sutra XVI). “Dan Aku jelaskan pula kepada mereka setingkat demi setingkat sesuai dengan kemampuan dan derajat kesanggupannya, tentang nama-Ku yang berbeda-beda dan tentang jangka waktu masa hidup-Ku serta dengan sederhana pula Aku nyatakan kepada mereka bahwa Aku harus masuk Nirwana”(Saddharmapundarika-sutra XVI).

Sebenarnya terminologi kekal bagi Tathagata itu kurang tepat, karena Ia akan dihubungkan dengan zat pencipta. Menurut paham pa­ra filsuf, zat pencipta adalah sesuatu yang tidak diciptakan dan kekal abadi. Sebaliknya, jika Tathagata tidak kekal, Ia akan dihubungkan dengan sesuatu yang diciptakan. “Di mana ter­dapat dualisme, Maha­mati, di sana terdapat kekekalan dan ketidakkekalan, karena tidak hanya salah satu. Mahamati, yang esa bersifat mutlak, tentu bukan dua­lisme, karena segalanya tidak bersifat ganda dan tidak dilahirkan. Dengan alasan ini, Mahamati, Tathagata, Arahat yang telah mencapai Pene­rangan Sempurna bu­kan kekal atau pun tidak kekal” (Lanka­vatara-sutra 218).

Dalam ungkapan yang serupa Buddha berkata kepada Anuraddha, “Ka­rena seorang Tathagata, bahkan meskipun benar-benar hadir, ti­dak­lah dapat dipahami menurut realitas sejati; adalah tidak tepat untuk menga­takan tentang Dia – Tathagata, Orang yang sepenuhnya menga­tasi dunia, Yang Mahasempurna, yang men­capai Kebebasan Mutlak – dengan pernyataan ini, bahwa setelah wafat Tathagata itu ada, atau tidak ada, atau ada dan tidak ada, atau bukan ada maupun bukan tidak ada” (S. III, 118). Di sini kita menyadari bahwa peng­ung­kapan Realitas Tertinggi, Yang Mutlak, menghadapi keterbatasan berba­hasa. 

Trikaya

Hakikat kebuddhaan adalah Dharmakaya yang absolut. Yang Mu­tlak ini bersifat kekal, meliputi segalanya, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, bukan realitas personifikasi, esa, bebas dari pa­sangan yang berlawanan, ada dengan sendirinya, bebas dari pertalian sebab akibat. Tubuh Dharma ini disebut juga Rahim Tathagata (Tathagata-garbha).

Keter­li­batan dalam dunia yang bersifat relatif dimungkinkan jika Buddha meng­ambil bentuk yang ber­wujud dan tampak secara fisik sehingga dapat dipahami dan diterima oleh segala makhluk. Dengan cara itu Buddha bekerja untuk menyelamatkan dunia.[32] Tubuh yang tampak tersebut adalah Sambhogakaya dan Nirmanakaya. Sambhoga­kaya, yaitu Tubuh Rahmat atau Tubuh Cahaya, sering dinyatakan sebagai perwuj­udan surgawi yang dapat dilihat oleh makhluk surga dan Bodhisattwa. Seorang Buddha menyadari kebud­dhaan dengan me­miliki tubuh ini. Buddha memakai Tubuh Cahaya untuk mengajar para Bodhi­sattwa. Nirma­nakaya, yaitu Tubuh Perubahan, yang dapat dilihat oleh manusia, dipakai untuk mengajar manusia biasa. Bud­dha Go­tama sebagai Buddha histo­ris adalah wujud Nirmanakaya. 

Ketiga tubuh Buddha tersebut dinamakan Trikaya. Sumber doktrin Trikaya ini antara lain Kitab Avatam­saka-sutradan Mahayana-sraddhotpada-shastra. Kitab yang disebut belakangan adalah karya Asvaghosha sekitar abad ke-1 Masehi. Sistematika doktrin Trikaya dibuat untuk menerangkan kedudukan dan hirarki para Buddha de­ngan para Bodhisattwa. 

Bagaimana dapat Yang Mutlak dilukiskan, dijelaskan atau diajar­kan? Hanya melalui atributnya saja Yang Mutlak itu dapat diperlihat­kan, sehingga apa yang absolut hanya bisa dikenali secara parsial dari sejumlah atribut. Dharmakaya divisualisasikan dalam konsep Panca-Tathagata yang disebut pula Panca-Jina (Penak­luk), atau sekarang ini lebih dikenal sebagai Panca-Dhyani-Buddha, yang masing-masing menem­pati posisi ter­ten­tu di alam semesta. Setiap nama mere­pre­sentasikan sifat Tathagata. yang dibayangkan oleh manusia. Wairo­cana (pene­rang agung) di tengah, Aksobhya (ketenangan tak tergo­yah­kan) di timur, Ratnasambhawa (terlahir dari permata) di se­latan, Amitabha (cahaya tanpa batas) di barat dan Amo­ghasiddhi (selalu berhasil) di utara. Kedudukan ini dihubungkan dengan pe­ngertian mandala, suatu lingkaran magis yang mencerminkan alam semesta. 

Sebagai Dharma­kaya, Dhyani-Buddha selalu dalam keadaan ber­kon­templasi (dhyana). Melalui kontem­plasi, Dhyani-Buddha meman­car­­kan (emanasi) atau menciptakan dari diri­nya sendiri Sambho­ga­kaya ber­wujud Jina­putra atau lebih dikenal dengan sebutan Dhyani-Bodhisattwa. Dhyani-Bodhisattwa yang jumlah­nya lima, satu untuk setiap Dhyani-Buddha, mengambil peran di dunia. Kelima Jinaputra itu adalah Samanta­bhadra, Wajrapani, Ratnapani, Awalokiteswara (Pad­mapani) dan Wiswapani. 

Pada masa yang kritis, Dhyani-Bodhisattwa mengambil wujud ma­­nusia untuk mengajarkan Dharma. Di sini Nirmanakaya meng­ambil alih tugas sebagai Manushi-Buddha. Setiap Dhyani-Bodhi­sattwa memiliki satu Manushi-Buddha. Kelima Manushi-Buddha itu adalah Kakusandha, Konagamana, Kassapa, Gotama dan Mai­tre­ya. Ke­tika Tu­buh Perubahan yang berupa manusia itu rusak karena ke­ma­tian, tugasnya di­kembalikan ke­pada Dhyani-Bodhisattwa yang ber­sang­kutan. Dhyani-Buddha, Dhyani-Bodhisattwa dan Manushi-Buddha ter­tentu be­kerja untuk satu zaman secara bergantian. Di za­man sekarang, yang memegang peran adalah Ami­tabha sebagai Jina, Awalo­kites­wara sebagai Jinaputra dan Gotama sebagai Manu­shi-Buddha-nya. Di za­man berikutnya mereka digantikan oleh Amo­ghasiddhi, Wiswapani dan Maitreya. 

Adi-Buddha

Terdapat banyak Buddha, tetapi hanya ada satu Dharmakaya. Dhar­­­makaya yang merupakan sumber per­wu­judan Panca-Dhyani-Buddha dinama­kan Adi-Buddha. Sebutan Adi-Buddha berasal dari tra­disi Aisvarika (Isvara, Tuhan, Maha-Buddha) dalam aliran Maha­yana di Nepal, yang menyebar lewat Benggala, hingga dikenal pula di Jawa. 

Adi-Buddha merupakan Buddha primordial, Yang Esa, atau dina­makan juga Paramadi-Buddha (Buddha yang pertama dan tiada ban­ding), Adau-Buddha (Buddha dari permulaan), Anadi-Buddha (Bud­dha yang tidak diciptakan), Uru-Buddha (Buddha dari segala Bud­dha). Juga disebut Adinatha (Pelindung Pertama), Swa­yambhu (Yang ada dengan sendirinya), Swayambhulokanatha (Pelin­dung dunia yang ada dengan sendirinya), atau Sanghyang Adwaya (Tiada duanya). 

Dalam bahasa Tionghoa Adi-Buddha disebut Pen-chu-fo atau Paramadi-Buddha diterjemahkan sebagai Sheng-chu-fo. Di Tibet dise­but sebagai Dan-pohi-sans-rgyas, Mchog-gi-dan-pohi-sans-rgyas, atau Thog-mahi-sans-rgyas, yang kesemuanya menunjukkan Buddha dari segala Buddha, yang mula-mula tampak, sebagai yang pertama. Adi-Buddha timbul dari ‘kekosongan’ (sunyata) dan dapat muncul dalam berbagai bentuk sehingga disebut Visvarupaserta nama-Nya pun tidak terbilang banyaknya. Adi-Buddha sering dii­dentifikasikan sebagai salah satu Buddha mistis, berbeda-beda menurut sekte. De­ngan memahami arti dari setiap sebutan, kita akan menyadari bah­wa yang dimaksud sebenarnya sama. Seperti sebutan Yang Mahaesa, Yang Maha Pengasih, Yang Mahatahu dan sebagainya yang ber­macam-macam, sama menunjuk pada sifat dari Tuhan yang satu.

Adi-Buddha disamakan dengan Manjusri (kesempurnaan kebijak­sanaan), sebagai ‘Ibu para Buddha’, atau Wajradhara (pemangku ke­kuatan mistik yang tak dapat musnah), Dalam paham Tibet Wajra­dhara itu Saman­tabhadra (berkah selamat universal), atau Wajrasatwa (makhluk intan). Dalam paham Jepang adalah Wairo­cana. Di Jawa dan Sumatera sin­kretisme Siwa-Buddha yang dianut oleh Kartana­gara dan Aditya­warman me­nunjukkan wujud Bhairawa (Siwa) yang menjunjung Ak­sobhya pada mahkotanya. Wajradhara adalah gelar yang diberikan kepada Aksobhya. Dalam Kitab Kunjara-Karna, yang dijunjung Wai­ro­cana. Namun dinyata­kan semua bentuk identifikasi tersebut, bahkan Siwa dan Buddha sekali pun, tunggal adanya. Dapat dime­ngerti kalau se­mua patung di Candi Borobudur yang berbeda-beda nama memiliki bentuk atau wajah yang serupa, hanya dibedakan menurut sikap tangan atau mudra dan kedudukan mata angin. 

Menurut Perguruan Vetulyaka Lokottaravada, Buddha Gotama yang secara his­toris dikenal sebagai Ma­nushi-Buddha sebenarnya ada­lah representasi Adi-Buddha di dunia. Dalam Kitab Mahavastu dinyatakan sejak awal mulanya, jauh di masa silam yang tak terbilang lamanya, Sakyamuni asalnya sudah Buddha. Kemun­culannya di bumi pada zaman ini termasuk pencapaian Nirwana, me­rupakan wujud kuasa gaib-Nya semata-mata, gejala dari Nirmana­kaya.

Konsep mengenai Adi-Buddha terdapat dalam Kitab Namasangiti, Karanda-Vyuha, Svayambhu-Purana, Maha-Vairocanabhisambodhi-sutra, Guhya-samaya-sutra, Tattva­sang­­raha-sutra, dan Paramadi-Buddho­dhar­ta-Sri-Kalacakra-sutra. Di Indonesia dikenal kitab Na­ma­­­sangiti versi Chandrakirti dari Sriwijaya dan Sanghyang-Kama­hayanikan dari zaman pemerintahan Mpu Sindok. 

Walau umat Buddha menyebut Tuhan Yang Mahaesa dengan nama yang berbeda-beda, Peraturan Peme­rintah RI No. 21 Tahun 1975 tentang Sumpah/ Janji Pegawai Negeri Sipil, mempergunakan sebutan Adi-Buddha. Menurut peraturan itu, bagi mereka yang ber­agama Buddha, kata-kata “Demi Allah” diganti dengan “Demi Sanghyang Adi-Buddha.” 

MANIFESTASI KEYAKINAN TERHADAP TUHAN YANG MAHAESA 

Keyakinan terhadap Tuhan Yang Mahaesa dengan sebutan atau nama yang berbeda-beda adalah peng­akuan akan kebesaran Tuhan yang tak dapat dijelaskan secara tepat. Tingkat pemahaman akan hakikat Tu­han bisa berbeda-beda pada setiap manusia. Keyakinan ini membawa konsekuensi kepada kita untuk bersi­kap saling menghor­mati, toleran, memelihara keru­kunan dan bekerja sama antar-peme­luk agama dan penga­nut kepercayaan yang berbeda-beda, apalagi antar­sekte. 

Keyakinan bah­wa Tuhan Yang Mahaesa mengatasi dunia, mendo­rong agar kita mengembangkan pema­haman, hingga mampu mem­bebaskan diri dari semua rintangan duniawi, melalui penem­busan Bodhi, untuk sampai kepada-Nya. Karena Tuhan Yang Maha­esa itu juga Mahatinggi, Mahaluhur, Mahasuci, Maha­sempurna, manusia yang percaya dan memuja-Nya akan selalu mencintai segala sifat-sifat-Nya yang mulia, mengembangkan sifat-sifat itu dalam diri masing-masing. Salah satunya Brahma-vihara atau “Kediaman Lu­hur” yang bisa diartikan sebagai “Rumah Tuhan”, yaitu cinta kasih (metta), belas kasihan (karuna), simpati (mudita) dan keseimbangan batin (upekkha).

Keyakinan terhadap Tuhan Yang Mahaesa sebagai Kebenaran Mutlak atau Dhar­ma yang menguasai dan mengatur alam semesta, serta melindungi mereka yang melaksanakan kebenaran, membuat kita selalu men­jauhi kejahatan dan tidak menentang hukum alam. Menyadari kehadiran-Nya yang tidak dibatasi ruang dan waktu, membuat kita senantiasa merasa dekat dengan-Nya dalam kehidupan sehari-hari, di dunia luar hingga di dalam hati. 

Umat Buddha memandang Buddha, Dharma, dan Sangha, atau Triratna sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Mahaesa dalam dunia ini. Keyakinan terhadap Tuhan yang Mahaesa identik dengan keyakinan kepada Triratna. Karena itu umat Buddha berlindung kepada Triratna sebagai penuntun hidup dan pembawa inspirasi. Beriman kepada Triratna membuat seorang umat Buddha de­ngan mantap me­miliki kekuatan, selalu berusaha untuk me­ning­galkan hal-hal yang buruk dan mengembangkan hal-hal yang baik, bersema­ngat sekuat tenaga melatih diri dan tidak melepaskan tanggungjawab (S. V, 226).

Catatan Kaki

[1] Lihat David J. Kalupahana, Filsafat Buddha, Sebuah Analisis Historis, diterjemahkan oleh Hu­daya Kandahjaya, Jakarta: Erlangga, 1986, hlm. 5-7.

[2] Narada, A Manual of Abhidhamma, Jakarta: Yayasan Dhammadipa Ara­ma, 1979, hlm. 424.

[3] W. F. Jayasuriya, The Psychology and Phylosophy of Buddhism. Kuala Lumpur Malaysia: Buddhist Missionary So­ciety, 1976, hlm. 6 dan 7 

[4] Heru Suharto, Kesesatan-Kesesatan dalam Penalaran, Jakarta: Ghalia In­­do­­­ne­sia, 1994, hlm. 53 dan 59-62. 

[5] Kalupahana, op.cit., hlm. 18

[6] Ibid., hlm. 5 dan 8.

[7] Ibid., hlm. 16

[8] Ibid., hlm. 16 dan 19. 

[9] Jayasuriya, op.cit., hlm. 217.

[10] Kalupahana, op.cit., hlm. 17

[11] Kalupahana, op.cit., hlm 126-127.

[12] Ibid., hlm. 130. 

[13] L. Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, diterjemahkan oleh D. F. Pears dan B. F. Mc Guiness, London: Routledge and Kegan Paul, 1961, dikutip oleh I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 87. 

[14] Sangharakshita, Maha Sthavira, Zen Intisari Ajaran, diterjemahkan oleh E. Suwarnasanti, -: Karaniya, 1991, hlm. 32. 

[15] M. Heidegger, On the Way to Language, diterjemahkan oleh P. Herts, New York: Harper and Row, 1971, hlm. 122, dikutip oleh Sugiharto, op.cit. hlm. 88-89.

[16] Nandasena Ratnapala, Buddhist Sociology, Delhi India: Sri Satguru Pu­blications, 1993, hlm. 16-17. 

[17] Sugiharto, op.cit., hlm. 18-19.

[18] Ibid., hlm. 109.

[19] Huston Smith, Agama-Agama Manusia, diterjemahkan oleh Saafroedin Ba­­har, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985, hlm. 167.

[20] HM. Quraish Shihab, “Agama: Antara Absolusitas dan Relativitas Ajar­an”, dalam Agama dan Pluralitas Bangsa (Seminar Sehari), pengantar oleh Soe­tjipto Wirosardjono, Jakarta: P3M, 1991, hlm. 42-43. 

[21] Franz Magnis Suseno SJ. “Agama: Antara Absolusitas dan Relativitas Ajar­­an”, ibid., hlm. 50 dan 52. 

[22] Lihat pengantar Huston Smith dalam Frithjov Schuon, Mencari Titik Temu Agama-Agama, diterjemahkan oleh Saa­froedin Bahar, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, cetakan ke-3, 1996, hlm. x, xiii. Smith menjelaskan dengan mengutip Tao Te Ching, bab 56: Mereka yang mengatakan tidak tahu; mereka yang tahu tidak mengatakan. 

[23] Muhamad Wahyuni Nafis, “Referensi Historis bagi Dialog Antaragama”, dalam Nurcholish Madjid et al, Pasing Over, Melintasi Batas Agama, editor Ko­maruddin Hidayat dan Ahmad Gaus, Jakarta: Gramedia, 1998, hlm. 85. 

[24] Corneles Wowor et al., Buku Materi Pokok Pendidikan Agama Buddha, Modul 1-3, Jakarta: Universitas Terbuka, 1985, hlm. 31.

[25] Kalupahana, op.cit., hlm. 4

[26] Nafis, op.cit., hlm.99.

[27] Nyoman S. Pendit, “Avatara”, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 2, 1988, hlm.446. Ke-10 Awatara itu adalah Matsya, Kurma, Waraha, Nara­sinha, Wamana, Parasurama, Rama, Krishna, Buddha, dan yang akan datang Kalki.

[28] Jamshed Fozdar, The God of Buddha, Ariccia (RM), Italy: Casa Editrice Baha’i Sri, 1995, hlm. 27-28.

[29] Narada, Sang Buddha dan Ajaran-Ajaran-Nya bagian 1, Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, – , hlm. 29-31.

[30] Thubten Chodron, Agama Buddha dan Saya, diterjemahkan oleh E. Su­war­nasanti, Bandung: Karaniya, 1990, hlm. 12-22. 

[31] Himpunan dari para bangsawan, brahmana, perumah-tangga dan petapa, serta golongan makhluk dari alam Empat Dewa Raja, alam Tiga puluh tiga Dewa, para Mara dan Brahma.

[32] Lihat Trevor O. Ling, “Buddha-kaya”, dalam SGF Brandon (ed.) A Dic­tionary of Comparative Religion, 1970, hlm. 156-157. 

The post Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Perspektif Agama Buddha appeared first on Diandharma.org.


Source: https://diandharma.com

Share and Enjoy !

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *