Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Perspektif Agama Buddha
Posted on June 4, 2022
Krishnanda Wijaya-Mukti
Materi Studi Pendalaman Agama Islam, Kristen, Buddha, LPKM – Universitas Negeri Jakarta, 21-23 Sept. 2001.
EPISTEMOLOGI
Epistemologi mempelajari dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan manusia. K.N. Jayatilleke mengelompokkan pemikir-pemikir di India sebelum Buddha dalam tiga aliran, yaitu: kaum tradisionalis, rasionalis dan eksperiensialis.[1] Kaum tradisionalis adalah para brahmana yang memegang otoritas kesakralan dari Weda yang diungkapkan secara ilahi. Mereka menurunkan seluruh pengetahuannya dari tradisi kitab suci dan penafsirannya. Kaum rasionalis menekankan pemikiran (takka) atau argumen logika (naya). Pengetahuan itu berupa pemikiran atau spekulasi, tidak menggunakan persepsi ekstrasensori. Kaum eksperiensialis bersandar pada pengetahuan pribadi secara langsung, dan pengalaman, termasuk di dalamnya persepsi ekstrasensori.
Pertimbangan yang Kritis
Kritikan Buddha terhadap wahyu dan beberapa sumber pengetahuan lainnya dapat diketemukan dalam Canki-sutta. “Bharadvaja, ada lima hal yang mempunyai akibat dua muka dalam kehidupan ini. Apakah kelima hal itu? (Pengetahuan berdasarkan) kepercayaan, selera, wahyu, argumentasi, perenungan dan persetujuan pada suatu teori yang dipikirkan . . ., sekalipun jika mendengar sesuatu berdasarkan wahyu yang paling dalam, ada kemungkinan kosong, tidak berlaku dan keliru, padahal di pihak lain apa yang tidak didengar berdasarkan wahyu yang paling dalam, ada kemungkinan nyata, benar, dan bukan lainnya. Bharadvaja, tidaklah tepat bagi seseorang yang cerdas, melindungi kebenaran, mengambil kesimpulan secara kategorik bahwa hanya inilah yang benar, dan semua yang lainnya keliru. . . . Jika seseorang telah mendengar, kemudian mengatakan inilah yang telah aku dengar, ia melindungi kebenaran, sepanjang tidak secara kategorik mengambil kesimpulan bahwa hanyalah ini yang benar, dan semua yang lainnya keliru” (M. II, 170).
Di sini Buddha menegaskan bahwa suatu teori yang berlandaskan tradisi, atau wahyu, dapat benar atau keliru. Dengan tidak adanya jaminan atas kebenarannya atau kekeliruannya, tidaklah tepat untuk tergantung pada tradisi atau wahyu sebagai sumber yang sahih bagi pengetahuan. Oleh sebab itu seseorang patut dengan kritis menyangsikan dan menunda keputusannya untuk memastikan keadaan sebenarnya dari realitas.
“Perhatikan Kalama: Jangan engkau lekas percaya begitu saja pada suatu berita, atau sesuatu yang merupakan tradisi, atau apa yang hanya didengar. Jangan engkau percaya begitu saja apa yang tertulis dalam kitab-kitab suci, juga apa yang katanya sesuai dengan logika atau penalaran semata-mata, atau apa yang katanya hasil penelitian atau setelah direnungkan cocok dengan suatu teori, atau dugaan agaknya akan mungkin terjadi, atau pula terdorong karena ingin menghormati seorang guru petapa yang menganutnya. Tetapi Kalama, kalau setelah kauselidiki sendiri, kauketahui hal ini tidak berguna, hal ini tercela, hal ini tidak dibenarkan oleh orang-orang bijaksana, hal ini kalau dilakukan dan dijalankan mengakibatkan kerugian dan penderitaan, maka selayaknya engkau menolaknya, Kalama” (A. I, 189).
Sikap kritis yang sama dipakai oleh Buddha menghadapi teori-teori kaum rasionalis. Dalam Sandaka-sutta, Buddha mengemukakan bahwa jika seorang guru yang mengajarkan kebenaran tergantung pada laporan, wahyu, tradisi, otoritas kitab suci, orang bisa ingat sebagian dan lupa sebagian lagi, dapat benar, dapat juga keliru. Jika guru itu seorang pemikir dan peneliti, ia mengajarkan hasil dari pemikiran dan spekulasi, mungkin ada yang benar, mungkin juga ada yang keliru (M. I, 520). Benar atau salahnya suatu teori mengenai realitas tidak dapat diputuskan oleh keajekan pikiran. Kadangkala suatu teori yang telah dipikirkan dengan baik dapat keliru setelah dibandingkan terhadap kesatuan kenyataan dan teori yang dipikirkan tidak baik dapat benar. Kebenaran pemikiran seharusnya tidak dipakai sebagai satu-satunya kriteria bagi kebenaran.
Apa yang ditangkap oleh indera adalah sumber-sumber utama dari pengetahuan dan pengertian tentang dunia. Namun persepsi indera memiliki keterbatasan, dan bisa keliru. Dalam hal penglihatan misalnya, persepsi yang tidak tepat atas suatu objek dapat menghasilkan ilusi (vipallasa). Ilusi timbul karena kekeliruan pencerapan yang mengamati (sanna-vipallasa), kekeliruan pikiran yang mengenali (citta-vipallasa), dan kekeliruan pandangan yang membentuk gagasan (ditthi-vipallasa).[2] Sebagai akibat dari kekeliruan ini, timbul pendapat yang tidak benar tentang kekekalan, kebahagiaan, keindahan dan keakuan.
Ada empat konsepsi pengelompokan (ghana) yang merintangi pengamatan sehingga terjadi kekeliruan, yaitu: (1) konsepsi kesinambungan (santati-ghana); (2) konsepsi keseluruhan atau kesatuan wujud (samuha-ghana); (3) konsepsi kesatuan fungsi (kriya-ghana); dan (4) konsepsi kesamaan objek (arammana-ghana). Konsepsi tersebut menurut Jayasuriya, dapat dibandingkan dengan hukum kesinambungan (continuity), keterdekatan (proximity), ketertutupan (closure) dan hukum kesamaan (similarity) dalam pengamatan menurut teori psikologi yang dikenal sekarang.[3]
Konsepsi kesinambungan menghalangi seseorang memahami kebenaran tentang kesementaraan dari segala sesuatu. Apa yang terjadi pada satu momen dipandang berlangsung terus. Seperti sebuah sumber cahaya yang diputar terlihat sebagai satu lingkaran cahaya. Mata telanjang melihat sebuah garis tidak terputus, padahal jika dilihat memakai lensa pembesar, ternyata merupakan serangkaian titik yang terpisah satu sama lain. Konsepsi keseluruhan melihat suatu komponen atau bagian sebagai satu kesatuan yang dianggap utuh. Apa yang dinamakan tangan sebenarnya terdiri dari jari-jari, telapak tangan, dengan tulang, sendi, otot dan sebagainya. Apa yang disebut sebuah kereta seharusnya terdiri dari banyak komponen. Konsepsi kesatuan fungsi menerima satu fungsi dalam satu perbuatan, padahal seharusnya terdapat sejumlah fungsi dan gerakan. Kaki yang melangkah ke depan terlihat sebagai satu gerakan, padahal sebenarnya terdiri dari banyak gerakan, naik, maju, dan turun. Konsepsi kesamaan objek melihat sasaran dari suatu hal yang sama dan mengabaikan perbedaannya. Apa yang dikelompokkan sama berwarna merah misalnya, sebenarnya berbeda intensitas warna, berbeda jenis ukuran dan bentuknya. Pengamatan atas seberkas sinar menjadi jelas dengan bantuan sebuah prisma, bahwa sebenarnya terdapat sejumlah warna.
Indera tidak berdiri sendiri, tetapi secara internal saja setidak-tidaknya berkaitan dengan aspek kesehatan dan aspek kejiwaan, seperti kepekaan perasaan, emosi, praduga dan imajinasi. Embusan angin yang terasa nyaman bagi orang yang sehat, akan terasa lain bagi orang yang sakit.[4] Jelas persepsi indera dapat memberi pemahaman yang tidak tepat. Hal ini terutama disebabkan oleh cara yang telah mengkondisikan manusia sedemikian rupa dalam menafsirkan apa yang dia lihat, dengar, rasakan dan sebagainya.
“Kesadaran penglihatan muncul bergantung kepada organ penglihatan dan objek penglihatan; pertemuan dari ketiganya adalah kontak; karena kontak muncullah perasaan. Apa yang ia rasakan, ia cerap; apa yang ia cerap, ia pikirkan; apa yang ia pikirkan, menggodanya. Apa yang membuatnya tergoda merupakan sumber dari sejumlah persepsi dan godaan yang menyerbunya dalam kaitannya dengan objek-objek terlihat yang dapat dikenali oleh organ penglihatan, di masa lalu, masa yang akan datang dan sekarang (M. I, 111-112). Apa yang disebut godaan adalah keinginan rendah (tanha), kecongkakan (mana) dan pandangan dogmatis (ditthi).[5]
Penganut eksperiensialis tergolong petapa. Kebudayaan petapa berbeda dengan tradisi brahmana. Para petapa menekankan pengetahuan dan pengertian tentang individu ketimbang pengorbanan atau upacara agama dan pengetahuan akan dunia luar. Titik berat pada pengertian realitas yang ada dalam manusia mungkin merupakan hasil langsung dari latihan konsentrasi yoga, yang merupakan aspek terpenting dari cara pertapaan. Tetapi tidak semua petapa tergolong eksperiensialis, seperti penganut materialis, walau mengaku petapa, menyangkal akan kesahihan persepsi ekstrasensori dan intuisi yoga.[6]
Verifikasi Pembenaran
Dalam pencariannya Buddha Gotama menjalani praktik pertapaan dan meditasi yoga. Karena itu Ia menyadari adanya kekuatan ekstrasensori yang dapat dikembangkan dengan cara-cara tersebut. Tetapi berbeda dengan praktisi eksperiensialis lain, Buddha menyadari kontemplasi yoga dan kekuatan ekstrasensori juga terbatas kemampuannya, seperti persepsi indera yang memiliki keterbatasan sebagai sumber pengetahuan. Menurut Buddha, kekuatan-kekuatan ekstrasensori disalahgunakan oleh para petapa yang merumuskan teori-teori metafisika tentang keadaan sesungguhnya dari realitas, meskipun teori-teori itu sebenarnya tidak dapat disusun berdasar persepsi ekstrasensori tersebut.
Brahmajala-sutta mengungkapkan misalnya, sebagai hasil konsentrasi yoga, orang-orang yang memperoleh kekuatan ekstrasensori menyusun bermacam-macam teori yang bertentangan satu sama lain. Ada yang menyatakan jiwa dan jagat adalah kekal abadi, atau dunia diciptakan oleh Brahma. Ada yang menyatakan sebagian kekal, sebagian tidak kekal, dan sebagainya. Buddha menolak spekulasi semacam itu (D. I, 12-22).
Buddha tidak memandang isi dari pengetahuan ekstrasensori identik dengan realitas terakhir apa pun. Pengetahuan demikian tidak dianggap mengandung pembebasan. Apa pun pengetahuan yang diperoleh melalui persepsi ekstrasensori adalah alat untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Jika pengetahuan itu diwarnai dengan kesukaan atau ketidaksukaan seseorang, akan membentuk berbagai kepercayaan dogmatik yang akan menghalangi seseorang untuk melihat realitas sejati dan mencapai kebebasan sempurna melalui ketidakmelekatan. Sebaliknya, bila tidak dirintangi kesukaan atau ketidaksukaan, pengetahuan ini akan menolong seseorang untuk memahami realitas dan mencapai kebebasan sempurna.[7] Masalahnya, bagaimana mungkin manusia melepaskan pandangannya sendiri yang mereka hargai sebagaimana mereka mengaturnya, dibimbing oleh kehendak hati dan dipikat oleh kesukaan-kesukaannya? (Sn. 781).
Prasangka subyektif menimbulkan bias pada persepsi atau pengertian seseorang tentang kebenaran. Selain perasaan suka dan tidak suka, terdapat hal lain yang membuat seseorang tidak bisa melihat sesuatu sebagaimana adanya, yaitu keinginan yang mengikat (chanda), kebencian (dosa), kegelapan batin atau kesesatan (moha), dan ketakutan (bhaya). Karena keempat hal ini, orang tidak akan mencapai pembebasan (A. II, 18). Praktik meditasi dapat menolong seseorang untuk menyingkirkan berbagai prasangka subyektif ini.
Konsentrasi mental (samadhi) dapat dikondisikan secara kausal, dan konsentrasi mental ini yang menjadi penyebab berkembangnya persepsi ekstrasensori (A. I, 254), sehingga memungkinkan seseorang memeriksa keadaan sebenarnya dari realitas, yang beberapa aspek darinya tidak dapat dicapai secara sempurna oleh persepsi indera biasa. Perbedaan antara kedua bentuk persepsi agaknya dalam tingkatan penembusan.[8]
Perkembangan persepsi ekstrasensori (abhinna) dipandang sebagai suatu kejadian kausal (dhammata) yang wajar (A. V, 3). Pengetahuan dan kekuatan ekstrasensori yang dimaksudkan adalah: (1) psikokinesis atau kesaktian (iddhividha-nana); (2) clairaudience atau telinga batin (dibbasota-nana); (3) telepati (cetopariya-nana); (4) retrokognisi atau mampu mengingat tumimbal-lahir yang lalu (pubbenivasanussati-nana), (5) clairvoyance atau mata batin (dibbacakku-nana), dan (6) pengetahuan tentang penghancuran kotoran batin (asavakkhaya-nana) (A. III, 280).
Dalam ajaran Buddha, dikenal dua sumber pengetahuan, yaitu inferensial (anumana) dan eksperiensial (pativeda/ pratyaksha). Fakta-fakta atau bukti dan kesaksian (sruti), melalui penarikan kesimpulan berdasar logika, merupakan sebuah tipe inferensial.[9] Ketika ditanya oleh Mahakotthita, Sariputra, siswa utama Buddha, menjelaskan bahwa pengertian yang benar dapat diperoleh dari kesaksian orang lain, dan perenungan yang tepat secara bijaksana (M.I, 294). Sariputra sendiri pertama kali memahami intisari ajaran Buddha dari kesaksian Assaji.
Kesaksian merupakan langkah pertama untuk memperoleh pengetahuan. Kesaksian ini antara lain laporan atau petunjuk dari orang lain. Kritikan Buddha terhadap laporan hingga wahyu sebagai sumber pengetahuan, ditujukan kepada mereka yang berpendapat bahwa itulah satu-satunya sumber pengetahuan yang sahih. Dengan demikian, kesaksian dari orang lain harus diverifikasi atau diperiksa lebih lanjut, untuk memastikan apakah benar atau salah. Pemeriksaan dilakukan dengan membandingkannya terhadap pengalaman seseorang. Perenungan yang benar melalui praktik meditasi mengandung baik pengalaman maupun pemikiran. Jadi Buddha memandang pengalaman, baik sensori ataupun ekstrasensori, dan pemikiran atau penarikan kesimpulan yang berlandaskan pengalaman sebagai sumber-sumber pengetahuan.[10]
Buddha menunjukkan berbagai sumber pengetahuan memiliki keterbatasan dan kesahihan. Penekanan pada keterbatasan semua sumber pengetahuan dimaksudkan untuk mencegah orang jatuh ke dalam teori yang spekulatif. Kesangsian itu wajar, tetapi menjadi keliru jika terjerumus ke dalam skeptisisme mutlak, yang memandang bahwa manusia tidak dapat mencapai kepastian mengenai apa pun. Keragu-raguan yang berlanjut adalah salah satu bentuk kotoran batin (kilesa) yang menghalangi seseorang untuk mencapai tingkat kesucian. Buddha tidak mengajarkan agnostisme, yang melihat manusia itu kekurangan informasi atau kemampuan rasional sehingga tidak dapat mengerti apa pun secara pasti mengenai realitas terakhir. Setiap manusia justru memiliki potensi untuk mencapai kesempurnaan dengan usahanya sendiri.
Objektivitas diperlukan tidak hanya dalam fakta yang dianggap sebagai kebenaran, namun juga dalam sikap dari orang yang mencarinya. Kebenaran sejati adalah objektif dan seseorang dapat mendekatinya hanya dengan sikap batin yang objektif. Kepada Ananda Buddha menyatakan bahwa pengetahuan yang objektif atau pengetahuan tentang sesuatu seperti apa adanya, adalah pengetahuan yang tertinggi (A. V, 37).
Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan bagi umat Buddha, diperoleh lewat pengalaman dan akal sehat diri sendiri secara holistik dan objektif. Ini mirip metode dalam ilmu pengetahuan modern, kecuali bahwa agama Buddha memperluasnya menjadi suatu studi mengenai pikiran dan panca indera. Kepercayaan, kitab suci, mistik, dan wahyu tidak dianggap sebagai jalan mutlak menuju tujuan akhir.
METAFISIKA
Cabang filsafat ini berhubungan dengan hal-hal yang nonfisik atau tidak kelihatan, suatu studi tentang sebab-sebab terakhir dan unsur-unsur yang membentuk realitas. Yang dimaksudkan sama dengan ontologi, studi tentang seluruh kenyataan atau segala sesuatu sejauh itu “ada”. Apa yang dipandang sebagai metafisika dalam filsafat modern, tidak semuanya dipandang demikian oleh Buddha. Misalnya mengenai isi Abhidharma, antara lain unsur-unsur yang membentuk realitas dan Nirwana sebagai Realitas Terakhir; atau kesinambungan kepribadian manusia, sebab musabab yang saling bergantungan (paticcasamuppada) dan keseragaman kausal (dhammata). Di luar itu, mengenai apa yang benar-benar metafisika, Buddha tidak memperkenankan para biku mempelajarinya (Vin II, 139).
Buddha tidak menerima realitas di luar jangkauan indera biasa dan pengalaman (termasuk ekstrasensori) yang tak terungkapkan. “Lepas dari data indera, tak ada kebenaran yang bermacam-macam dan abadi dalam dunia ini. Setelah mengorganisasikan pikirannya sendiri dalam kaitannya dengan anggapan-anggapan metafisika, (kaum sofis) berkata tentang dua hal, kebenaran dan kekeliruan” (Sn. 886).
Kata-Nya, “Para Biku, Aku akan mengajarkan tentang segala sesuatu. Dengarkan, apakah segala sesuatu itu? Mata dan bentuk materi, telinga dan bunyi, hidung dan bau, lidah dan rasa, badan dan objek-objek sentuhan, pikiran dan objek-objek mental. Semuanya ini disebut segala sesuatu. Para Biku, ia yang mengatakan, ‘aku akan menolak segala sesuatu ini dan menyatakan segala sesuatu.yang lain,’ barangkali dapat mengemukakan teorinya sendiri. Tetapi bila dipertanyakan, ia tidak dapat menjawab dengan baik dan selanjutnya akan menjadi subyek dari kejengkelan. Mengapa? Karena hal itu tak akan termasuk dalam jangkauan pengalaman” (S. IV, 15).
Orang-orang yang berselisih pendapat karena menganut pandangan metafisika berbeda-beda dibandingkan oleh Buddha seperti orang buta sejak lahir. Mereka berpikir terbatas menurut apa yang diketahuinya dan buta terhadap kenyataan-kenyataan lain. Orang buta itu masing-masing meraba kepala gajah, telinga, belalai, badan, kakinya dan lain-lain. Yang satu mengatakan bahwa gajah itu seperti jambangan, yang lain mengatakan seperti tampah, bajak, dinding lumbung, tiang, dan sebagainya (Ud. 68-69).
Brahmajala-sutta mengemukakan enam puluh dua pandangan metafisika yang ditolak oleh Buddha. Menurut-Nya, siapa saja yang berspekulasi mengenai hal-hal tersebut, semuanya terjerat dalam jaring pandangan itu. Mereka terjerumus di dalamnya, terperangkap di dalamnya (D. I, 45). Berdasar pengetahuan langsung dan pengalaman sendiri Buddha mengetahui sampai di mana spekulasi tersebut, apa yang ingin diperoleh, apa hasilnya, apa saja akibat yang timbul di kemudian hari bagi mereka yang mempercayainya (D. I, 29).
Pertanyaan yang Tak Dijawab
Berbagai spekulasi metafisika itu dapat dikenali pula dalam rumusan sepuluh pertanyaan klasik yang diajukan antara lain oleh Vacchagotta dan Malunkyaputta. Kesepuluh pertanyaan tersebut mengenai apakah: (1) dunia kekal; (2) dunia tidak kekal; (3) dunia terbatas; (4) dunia tak terbatas; (5) hakikat jiwa dan tubuh adalah sama; (6) hakikat jiwa adalah satu hal yang lain dari tubuh; (7) Tathagata ada setelah parinirwana atau mangkat; (8) Tathagata tidak ada setelah mangkat; (9) Tathagata ada dan tidak ada setelah mangkat; (10) Tathagata bukan ada dan bukan pula tidak ada setelah mangkat. Buddha berpendapat, bahwa memikirkan atau membicarakan hal itu akan jatuh pada suatu pandangan spekulatif, bertahan pada satu pandangan, menghadapi belantara pandangan, liku-liku pandangan, pertentangan pandangan, belenggu pandangan; hal tersebut disertai kesukaran, kejengkelan, penderitaan, kegelisahan; hal itu tidak membawa pembebasan atau ketenangan, penghentian, kedamaian, pengetahuan tertinggi, penerangan atau Nirwana. Buddha Gotama melihatnya sebagai rintangan, karena itu Ia tidak berbicara apa pun mengenai pandangan-pandangan spekulatif tersebut (M. I, 485-486).
Ketika Malunkyaputta mendesak terus dengan kesepuluh pertanyaannya, Buddha menceriterakan sebuah perumpamaan tentang orang yang terluka kena anak panah beracun. Sewaktu orang-orang akan menolongnya, ia tidak menghendaki anak panah itu dicabut sampai apa yang ingin ia ketahui terjawab. Ia ingin tahu siapa yang melukainya, apa identitas, sifat-sifat hingga asal usul orang yang memanah itu, apa jenis senjatanya hingga detail. Padahal, jika pengobatan tertunda, ia akan keburu meninggal sebelum memperoleh jawaban. Jawaban-jawaban dari pertanyaan spekulatif tidak menyumbangkan apa-apa bagi orang yang menuntut kehidupan suci dan tidak mengarah pada berakhirnya penderitaan (M. I, 429-431).
Acela Kassapa mengajukan empat pertanyaan yang juga tidak dijawab oleh Buddha. Pertama, apakah penderitaan disebabkan oleh diri sendiri? Kedua, apakah penderitaan disebabkan oleh yang lainnya? Ketiga, apakah penderitaan disebabkan baik oleh diri sendiri maupun yang lainnya? Keempat, apakah penderitaan disebabkan bukan oleh diri sendiri dan bukan juga oleh yang lain? Untuk semua pertanyaan tersebut, Buddha menjawab: “Jangan berkata demikian”, alih-alih menyangkal, yang biasanya dikatakan sebagai: “Bukan demikian”. Buddha sendiri menjelaskan.alasan dari jawaban itu (S. II, 18-19).
Pernyataan pertama, maksudnya penderitaan bersebab-akibat sendiri, mendukung teori kekekalan (eternalist),yang menganggap ada diri yang kekal atau tidak berubah sehingga mengabaikan faktor-faktor selain diri yang ikut menimbulkan penderitaan (teori pemikir Upanisad). Pernyataan kedua, penderitaan bersebab akibat eksternal, mendukung teori pemusnahan (annihilationist), berjalan ke ekstrem lain dengan menyangkal sama sekali pengaruh kausal dari keinginan dan tanggungjawab manusia (teori kaum materialis). Pernyataan ketiga, kombinasi kedua pemikiran itu membawa serta kedua implikasi tadi yang tidak akan menghasilkan teori yang empirik. Pernyataan yang terakhir, mengenai indeterminisme, atau tidak bersebab akibat.[11] Apa yang diajarkan oleh Buddha adalah sebuah paradigma baru, yaitu sebab musabab yang saling bergantungan.
Mengikuti jalan pikiran Buddha, teori-teori metafisika dikritik karena berlandaskan pemikiran apriori tanpa dasar empirik. Seorang penganut metafisika, tidak memiliki pengetahuan langsung, berusaha memastikan terlebih dahulu objek pengetahuan yang seharusnya itu yang bagaimana, tanpa pernah puas dengan apa yang diketahuinya.[12]Menghadapi pertanyaan metafisika yang tidak relevan dengan praktik untuk mencapai kebebasan, Buddha pun memilih diam.
Keterbatasan Bahasa
Sikap Buddha ini dapat juga dimengerti dilihat dari persoalan lain, yaitu bahasa kita menghadapi keterbatasan. Ketika ditanya oleh Vacchagotta mengenai apa yang terjadi pada seorang Arahat setelah meninggal dunia, Buddha menjawab bahwa pertanyaan itu tidak dapat dipertimbangkan, karena pernyataan-pernyataan “terlahir”, atau “tidak terlahir”, “terlahir dan tidak terlahir” atau “bukan terlahir dan tidak terlahir” tidak berlaku, atau tidak dapat dipergunakan. Buddha memberi perumpamaan, jika api padam, apa dapat dinyatakan ke arah mana api itu pergi? Realitas Terakhir tidak dapat diterangkan secara logika atau diuraikan secara konseptual (M. I, 486-487).
Kepada Ananda. Buddha juga menjelaskan bahwa bagi mereka yang mencapai kebebasan, percaya pada salah satu dari keempat pernyataan tentang keadaan Arahat setelah meninggal dunia tersebut absurd. Tetapi bagi seorang biku yang telah mencapai kebebasan melalui pandangan terang, “ia tidak mengetahui, ia tidak melihat” itu adalah mustahil (D. II, 68).
Ada hal-hal tertentu yang memang tidak pernah bisa dikatakan. Ini kurang lebih tesis Wittgenstein dan Heidegger. Ludwig Wittgenstein (1889-1951) mengatakan, bahwa tentang apa yang tak bisa kita bicarakan, kita harus diam.[13]Tetapi diam itu bisa bukan tidak berarti apa-apa. Transmisi jiwa ajaran Buddha menurut tradisi Zen dilakukan tanpa kata-kata. Di tengah keheningan ketika berbagai kelompok murid menunggu-Nya berkhotbah, Buddha hanya mengangkat sekuntum bunga berwarna emas. Tidak ada yang memahami maknanya, kecuali Mahakasyapa yang tersenyum.[14] Itulah sebuah warisan di luar kitab-kitab suci, yang tak bergantung pada kata-kata dan aksara; langsung mengarah pada pikiran manusia, yang mengerti hakikat dirinya sendiri dan menyadari kebuddhaan.
Hal ini mengingatkan kita pada kata-kata Martin Heidegger (1889-1976): Berkata dan berbicara tidaklah identik. Seseorang bisa saja bicara banyak tapi tidak mengatakan sesuatu pun. Orang lain mungkin tinggal diam saja, tetapi tanpa bicara ia justru mengatakan banyak hal . . . berkata berarti menyingkapkan, menjadikan terlihat dan terdengar.[15]
Buddha memandang bahwa pernyataan-pernyataan metafisika mengandung kata-kata yang tidak berdasar atau tak ada artinya. Kalimat-kalimat itu sesuai dengan aturan tata bahasa, tetapi tidak bermakna, walau mampu membangkitkan respons emosional yang kuat pada orang-orang tertentu. Kepada Potthapada Buddha menjelaskan bagaimana manusia membuat pernyataan yang tidak berdasar tersebut. Ada petapa dan brahmana yang menyatakan bahwa setelah mati jiwa itu benar-benar bahagia. Buddha bertanya kepada mereka tentang sejauh mana biasanya mereka merasa benar-benar bahagia di dunia ini. Mereka tidak dapat mempertahankan perasaan bahagia barang setengah hari pun dan tidak tahu bagaimana caranya merealisasi kebahagiaan itu. Mereka juga tidak pernah mendengar sendiri kesaksian para dewa yang telah lahir kembali di alam bahagia. Karena itu pernyataan mereka tidak ada artinya.
Agar menjadi lebih jelas, Buddha memberi ilustrasi tentang seseorang yang mengucapkan bahwa ia mencintai wanita yang paling cantik di dunia. Kalau orang lain bertanya kepadanya, apakah ia tahu siapa wanita yang paling cantik itu, bagaimana ukuran tubuhnya, apa warna kulitnya, di mana dia tinggal, bagaimana asal usulnya, dan sebagainya; orang itu akan menjawab tidak tahu. Bukankah orang yang dia cintai itu tidak dikenalnya, bahkan tidak pernah dilihatnya? Kesimpulannya, kata-kata yang diucapkan itu tidak mengandung arti apa-apa (D. I, 192-193)
Pemahaman mengenai bahasa menjadi hal pokok untuk mencari dan mengungkapkan kebenaran. Dengan bahasa manusia tidak hanya berpikir dan memahami dunia, tetapi juga membentuk realitas. Bahasa mengekspresikan imajinasi, hal-hal yang bersifat artistik, dan dipakai untuk melakukan persuasi, yang sarat dengan berbagai kepentingan. Bahasa juga dipandang memiliki kekuatan magis seperti halnya mantra-mantra. Dan sebuah nama bisa mengandung makna mistis.
Dalam agama Buddha, bahasa berperan lebih sebagai alat pengenalan, tidak sebagai realitas itu sendiri. Contohnya apa yang diucapkan oleh Buddha: “Subhuti, butir-butir debu yang dikatakan Tathagata itu bukanlah butir-butir debu, namun hanya untuk bahasa percakapan dinamakan butir-butir debu, begitu juga jutaan dunia yang dikatakan Tathagata itu bukanlah dunia, itu pun hanya diberi nama dunia” (Vajracchedika-prajnaparamita-sutra 13). Realitas ada dalam pengalaman yang sering kali tidak terjangkau oleh kata-kata. Bahkan dikatakan bahwa semua hal bersifat ilusi, karena kata-kata dan ucapan adalah ilusi. Semua orang bijak tidak melekat pada kata-kata (Vimalakirti-nirdesa-sutra III).
Ada hal-hal yang dapat dialami sekaligus dipikirkan dan dinyatakan secara tepat dalam kata-kata. Ada pula hal-hal lain yang meskipun dapat dialami, mengatasi gagasan dan kata-kata. Paling banter hal-hal itu bisa diindikasikan atau disimbolkan atau diisyaratkan. Misalnya realitas atau aspek realitas yang dinamakan “Nirwana”, atau “Pencerahan”, “Kebuddhaan”, atau “Ketuhanan”. Istilah-istilah ini hanya digunakan untuk sementara, yang memberi sejumlah tertentu petunjuk, gagasan tentang arah yang harus kita tuju.
Bahasa pada dasarnya adalah konvensi. Menurut Buddha seseorang seharusnya tidak merusak dialek bahasa dan menyimpang dari batas-batas perjanjian linguistik (M. III, 230). Dalam praktiknya selain menghadapi persoalan semantik, pemakaian bahasa bersifat subyektif, kata-kata bisa berubah arti dan bersifat situasional. Buddha bertanya kepada seorang perempuan, “Dari mana engkau datang?” Orang itu menjawab, “Aku tidak tahu, Tuan.” Buddha bertanya lagi, “Kemana engkau akan pergi?” Perempuan tersebut menjawab sama, “Aku tidak tahu.” Mereka yang mendengarnya menganggap perempuan itu tidak waras. Belakangan Buddha menjelaskan interpretasi dari percakapan tersebut. Pertanyaan dari mana engkau datang, diartikan oleh perempuan itu: “Apa kelahiranmu terdahulu”, atau dari mana ia berasal sebelum dilahirkan di dunia sekarang. Pertanyaan ke mana engkau akan pergi, diartikan “Di mana engkau akan dilahirkan setelah kehidupan ini”. Jenis interpretasi penggunaan kata-kata seperti ini dari sudut pandang orang yang saling berinteraksi diantisipasi dalam pemikiran Buddhis.[16]
Pemikiran filsafat dan keagamaan sering diungkapkan dalam bentuk metafora. Metafora adalah pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Cara manusia untuk memahami alam dan dirinya dilakukan melalui metafora, yaitu mempersamakannya dengan sesuatu yang lain, yang lebih dimengertinya, yang sebenarnya bukan hal itu sendiri. Pola bernalar yang sesuai dengan kondisi dasar antropologis macam ini adalah retorika. Metafora bukan hanya bentuk semantik tertentu, melainkan merupakan kondisi dasar antropologis.[17]
Setiap bahasa mengatakan sesuatu. Tetapi mengatakan sesuatu dengan metafora, justru tidak persis memaksudkan apa yang eksplisit dikatakannya. Sugiharto memberi contoh: “manusia adalah seekor serigala”. Kita tidak lantas membayangkan sosok fisik seekor serigala dengan telinga mencuat dan tubuh berbulu. Dengan metafora tersebut kita memaksudkan bahwa manusia itu buas dan cenderung memangsa manusia lain. Tetapi bisa pula orang-orang dengan kultur berbeda mengartikan lain.[18] Untuk menghindari distorsi interpretasi, bila Buddha memakai metafora, biasanya diberi penjelasan yang menuntun agar kita berpikir ke arah tertentu yang tepat. Misalnya, “orang bijaksana disamakan dengan seekor lebah,” diterangkan pula maksudnya, yaitu “mengumpulkan madu dari bunga-bunga tanpa merusak warna maupun baunya”.
Kata-kata mempunyai posisi yang mendua. Sisi yang positif, kata-kata sangat diperlukan untuk berkomunikasi dan membuat kita menjadi manusia. Sisi yang negatif, kata-kata mempunyai tiga keterbatasan: (1) menciptakan suatu dunia palsu; (2) bahkan jika pengalaman kita pada umumnya dijelaskan dengan kata-kata secara tepat, hal itu tidak pernah memadai; (3) seluruh bentuk pengalaman kita yang paling luhur berada di luar jangkauan kata-kata.[19]
Makna lebih penting dari kata-kata harfiah (M. II, 239). Karena itu dapat dimengerti kalau Buddha mengIzinkan para siswa-Nya untuk mempelajari ucapan atau ajaran Buddha sesuai dengan dialek atau bahasa masing-masing (Vin. II, 139). Setelah Buddha tiada, muncul bermacam-macam aliran dalam agama Buddha yang menggunakan bahasa masing-masing.
Dua Terminologi
Ada dua tingkatan realitas, yaitu kebenaran umum atau kebenaran relatif yang bersifat konvensional (samvrti-satya) dan kebenaran mutlak (paramartha-satya). Istilah samvrti (meliput dan menghalang) menggantikan istilah sammuti (sesuatu yang meliputi). Suatu konsep dipandang menyerupai kulit luar yang meliputi suatu inti, keadaan yang sebenarnya. Kebenaran mutlak adalah sesuatu yang ditutupi oleh konsep konvensional.
Buddha pun berbicara memakai dua macam terminologi. Yang satu bahasa konvensional, yang dipakai sehari-hari; dan yang lain bahasa teknis yang impersonal dan analitis. Istilah “manusia” dalam bahasa sehari-hari adalah “lima agregat kehidupan” (panca-khandha) dalam bahasa teknis. Hal ini dapat dibandingkan dengan “air” yang disebut “H2O”. Uraian tentang realitas terakhir khususnya dihimpun dalam Kitab Abhidharma, yang penyampaiannya menggunakan gaya ilmiah atau langsung (nippariyaya-desana), sedangkan Kitab Sutta dan Winaya memakai gaya bercerita (sappariyaya-desana).
KEMUTLAKAN DAN KENISBIAN
Buddha menolak berbagai kepercayaan dan praktik keagamaan sebelumnya, dan membabarkan ajaran-Nya sendiri yang diperoleh lewat Penerangan Sempurna. “Di antara semua jalan, Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah yang terbaik; di antara semua kebenaran, Empat Kebenaran Mulia yang terbaik; Di antara semua keadaan, bebas dari hawa nafsu adalah yang terbaik; di antara semua makhluk hidup, orang yang waskita adalah yang terbaik. Inilah satu-satunya jalan. Tidak ada jalan lain yang dapat membawa kesucian pandangan. Ikutilah jalan ini, yang dapat mengalahkan mara. Dengan mengikuti jalan ini, engkau dapat mengakhiri penderitaan. Aku mengajarkannya setelah Aku mengetahui jalan inilah cara membuang duri-duri nafsu” (Dhp. 273-275). Kepada Subhadda, murid-Nya yang terakhir, Buddha mengatakan bahwa di luar Jalan Mulia Berunsur Delapan tidaklah mungkin diketemukan orang yang mencapai kesucian (D. II, 151).
Apa yang dinamakan kebenaran seharusnya tidak berubah-rubah. Seperti air, selalu basah, di masa yang lalu, sekarang dan di masa yang akan datang pun tetap basah. Di sini, di sana, di mana saja air basah. Tidak seorang pun, sekalipun berbeda agama, golongan, bangsa, budaya, paham politik, menyangkal kebenaran bahwa air itu basah.
Ajaran agama diterima oleh pemeluknya secara estafet. Setelah pembawa agama yang menjadi penghubung atau utusan Tuhan tidak lagi berada di tengah-tengah umatnya, pasti petunjuk-petunjuk yang dibawanya dapat mengalami perubahan interpretasi. Apabila penganutnya menyepakati suatu interpretasi tunggal, interpretasi tersebut menjadi absolut di kalangan mereka, sebaliknya jika mengandung berbagai kemungkinan makna, maka ia menjadi relatif. Kesepakatan interpretasi tunggal dapat ditolak oleh kelompok lain, sehingga pandangan tersebut absolut bagi kelompok yang satu, tetapi tidak untuk yang lain. Absolusitas dapat bertingkat-tingkat.[20]
Di mana sebenarnya unsur kemutlakan yang hakiki? Dalam agama wahyu, Yang Mutlak hanyalah satu, Allah sendiri. Agama terdiri dari unsur Ilahi dan unsur-unsur manusiawi. Wahyu tidak pernah dapat dikoreksi, tetapi iman orang-orang beragama, ibadat mereka, paham mereka tentang ajaran dan hukum agama selalu akan mencerminkan selain wahyu Ilahi juga paham-paham, prasangka-prasangka, keterbatasan-keterbatasan kultural dan kognitif manusia yang menampung wahyu itu dalam iman mereka. Agar agama menemukan kembali relevansinya di zaman yang baru, ia perlu direaktualisasikan. Reaktualisasi itu menuntut antara lain kesediaan untuk mengakui relativitas ekspresi-ekspresi dan interpretasi-interpretasi agama tradisional.[21]
Kebenaran Mutlak dalam agama Buddha adalah Dharma yang absolut (asankhata), Realitas Terakhir atau Tertinggi, yang tidak bersyarat atau berkondisi. Segala sesuatu yang terdiri dari paduan unsur, tidak bersifat esa, tidak kekal, yang bisa berubah, pasti tidaklah bersifat mutlak. Kepercayaan dan berbagai bentuk ritual yang dikenal sebagai agama Buddha terkait dengan kondisi, diwarnai tradisi dan budaya, berubah-ubah dari waktu ke waktu. Lagi pula agama dalam kenyataannya hadir sebagai organisasi. Agama sudah dikuasai dan dibentuk oleh manusia dengan sifat-sifat keakuannya dan tak terhindarkan dari disparitas penganutan. Di situ segalanya jelas bersifat relatif.
Dewa Sakka bertanya kepada Bhagawa, apakah semua petapa dan brahmana memiliki dan mengajarkan doktrin, praktik keagamaan, prospek dan tujuan yang sama? Jawab Buddha, tidak. Dunia terdiri dari banyak unsur dan beranekaragam, sedangkan orang-orang melekat pada salah satu unsur itu, sehingga mempertahankan bahwa: inilah satu-satunya yang benar, dan yang lainnya salah (D. II, 282). Setiap orang dapat mempertahankan kebenarannya sendiri, namun tidaklah tepat jika ia memutlakkannya tanpa mempertimbangkan keterbatasannya.
Distingsi kemutlakan dan kenisbian ini perlu untuk memahami persamaan dan perbedaan agama-agama (atau juga aliran agama). Bila tidak ada persamaan pada agama-agama, kita tidak akan menyebutnya dengan nama yang sama: agama. Bila tidak ada perbedaan di antaranya, kita pun tidak akan menyebutnya dengan kata majemuk: agama-agama. Schuon mencari titik temu agama-agama dengan menarik garis pemisah antara yang esoterik dan yang eksotrik. Kesatuan berbagai agama terjadi pada tingkat esoterik, tersembunyi dan bersifat misteri. Dalam agama Buddha sendiri, Dharma dan Winaya dinyatakan sama seperti cahaya matahari dan bulan yang dapat disaksikan oleh semua orang, sesungguhnya tidak mengandung hal-hal yang dirahasiakan (A. I, 282). Apa yang disebut esoterik seharusnya tidak pernah dirahasiakan. Orang yang mengetahuinya bukan tidak mau menjelaskan, melainkan karena kebenaran itu terbenam dalam timbunan unsur manusiawi, hal itu tidak bisa dijelaskan secara meyakinkan kepada orang banyak, sehingga sepertinya tersembunyi.[22]
Berhadapan dengan Kebenaran Mutlak, kita menyadari keterbatasan kita. Kemutlakan bukan milik kita. Sebagai konsekuensinya kita tidak berhak menjadi hakim atas keyakinan orang lain. Meskipun tidak dapat membenarkan kepercayaan dan praktik keagamaan lain, seseorang yang memahami relativitas agama tidak akan mengutuknya. Pengikut agama-agama yang berbeda dapat bersepakat untuk tidak sepakat dan belajar membangun sikap saling menghormati dan memahami.
KONSEP KETUHANAN
Buddha mengajarkan Ketuhanan tanpa menyebut nama Tuhan. Tuhan yang tanpa batas, tak terjangkau oleh alam pikiran manusia, tidak diberikan suatu nama, karena nama itu dengan sendirinya akan memberi pembatasan kepada Yang Tidak Terbatas. Seperti yang dikatakan oleh Ibn al-‘Arabi, Allah sebagai Dzat yang Absolut dan Mahagaib sesungguhnya tidak memerlukan nama. Dan kalau pun Yang Absolut itu diberi nama, kata Lao-Tzu, maka nama apa pun tak ada yang tepat. Demikian pula definisi tentang-Nya, sebab jika yang Absolut bisa didefinisikan, maka ia tidak lagi absolut.[23]
Buddha mengungkapkannya sebagai berikut: “Para Biku, ada Yang Tidak Dilahirkan (ajata), Yang Tidak Menjelma (abhuta), Yang Tidak Diciptakan (akata), Yang Mutlak (asankhata). Para Biku, apabila tiada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan ada kemungkinan untuk bebas dari hal-hal berikut ini, yaitu kelahiran, penjelmaan, penciptaan, pembentukan dari sebab yang lalu. Tetapi, para Biku, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari hal-hal berikut ini, yaitu kelahiran, penjelmaan, penciptaan, pembentukan dari sebab yang lalu” (Ud. 80-81).
Sifat-Sifat Tuhan
Yang Mutlak atau Absolut sering diartikan Yang Esa. Rumusan mengenai Realitas Terakhir, Tertinggi ini menunjukkan sifat Tuhan Yang Mahaesa. Dalam agama Buddha, Tuhan tidak dipandang sebagai suatu pribadi (personifikasi), tidak bersifat antropomorfisme (pengenaan pengertian ciri-ciri yang berasal dari wujud manusia) dan antropopatisme (pengenaan pengertian yang berasal dari perasaan manusia).[24] Antropomorfisme dan antropopatisme telah menimbulkan berbagai upacara persembahan, mulai dari sajian yang sederhana seperti makanan, hingga kurban binatang. Persembahan itu dimaksudkan untuk memuaskan makhluk yang dipandang mempunyai perasaan, senang atau marah misalnya, dan memiliki kekuasaan menentukan nasib manusia. Dengan bertambah peliknya upacara kurban, timbul satu kelas brahmana yang bertindak sebagai penghubung antara manusia dan dewa.[25]
Dewa-dewa di surga bukanlah makhluk yang berkuasa memberikan berkah kepada pemujanya, atau pun sebaliknya memberi hukuman. Buddha mendeskripsikan bahwa dewa merupakan salah satu jenis makhluk, yang hidup di surga, sebagai hasil dari perilaku moral pada masa lalunya. Janavasabha-sutta dan Mahagovinda-sutta misalnya mengungkapkan kesaksian tentang kelahiran di surga. “Para dewa dan penguasa surga Tavatimsa semuanya gembira, semuanya menghormati Tathagata dan Dharma. Di sini mereka melihat para dewa yang baru lahir, elok dan bercahaya, karena mereka telah melaksanakan penghidupan suci yang diajarkan oleh Sugata” (D. II, 208). Sakka (Indra pada pantheon sebelumnya), kepala dari semua dewa, ketika hidup sebagai manusia telah melaksanakan tujuh jenis kebajikan, yaitu memelihara orangtuanya; menghormati kepala keluarga; berbahasa halus; tidak mengumpat atau memfitnah; mengucapkan kebenaran; tidak pernah marah; bersih dari noda dan keakuan, murah hati, menghindari keduniawian (S. I, 228).
Buddha tidak mengajarkan Teisme fatalistis dan determinis yang menempatkan suatu kekuasaan adikodrati merencanakan dan menakdirkan hidup semua makhluk. Teisme semacam itu mengingkari kehendak bebas manusia dan dengan sendirinya sewajarnya juga meniadakan tanggungjawab moral perbuatan manusia. Dalam Brahmajala-sutta dikemukakan bagaimana Buddha melepaskan diri dari perangkap jala pendapat yang dianggap spekulatif, antara lain paham semi eternalis yang memandang Brahma sebagai Bapa pencipta yang berkuasa menentukan tempat setiap makhluk (D. I, 18 ). Jika ada suatu makhluk yang merancang kehidupan seluruh dunia – kemuliaan dan kesengsaraan, tindakan baik dan tindakan yang jahat – maka manusia tidak lain adalah alat dari kehendaknya dan tentu makhluk itu yang bertanggung-jawab (Ja. V, 238). Juga berbagai peristiwa kejahatan (dan mala petaka) tidak dapat dijelaskan seandainya Teisme determinis itu benar. Misalnya, seandainya Brahma yang mahabaik adalah mahakuasa, mengapa ia menciptakan ketidakadilan (Ja. VI, 208).
Teisme dalam agama Buddha melihat Tuhan Yang Mahaesa atau Yang Mutlak sebagai Yang Mahatinggi, Mahaluhur, Mahasuci, Mahasempurna, kekal atau tanpa awal dan tanpa akhir. Sebagai kekuatan yang menguasai dan mengatur alam semesta, konsep Dharma untuk Tuhan Yang Mahaesa (atau Mahakuasa), bukanlah suatu pribadi. Selain itu konsep ketuhanan dalam agama Buddha tidak mengenal dualisme. Tuhan yang mempunyai sifat Maha Pengasih (Brahmavihara) misalnya tidak mungkin juga pemarah.
Ibn al-‘Arabi berpendapat bahwa Tuhan itu ada dua macam. Yang pertama, Tuhan yang diciptakan, bisa diketahui secara berbeda-beda pada masing-masing orang sesuai kapasitas intelektual dan pengalaman religius masing-masing. Yang kedua, Tuhan yang sebenarnya, adalah rahasia dan tersembunyi, dan tak satu gelintir orang pun mengetahui-Nya. Dia-lah Dzat yang tak terbatas, mutlak, dan mahabesar. Inilah sebenarnya Tuhan yang hakiki, yang tidak bisa dijangkau oleh nalar dan imajinasi manusia.[26]
Buddha Transenden
Bagi mereka yang menganggap Buddha dilahirkan sebagai orang Hindu dan meninggal juga sebagai orang Hindu, Buddha adalah salah satu Awatara. Awatara berarti titisan atau perwujudan Tuhan Yang Mahaesa dalam memulihkan ketenteraman dunia. Kitab Purana menyebutkan ada 10 Awatara dan Buddha adalah Awatara yang kesembilan.[27]
Jamshed Fozdar melihat padanan berbagai sabda Buddha dalam Upanisad, Bhagawad Gita dan Weda. Menurutnya, untuk memahami makna sebenarnya dari sabda-sabda Buddha, kita harus mempelajarinya dalam konteks pemikiran Hindu India. Ia berusaha membuktikan bahwa Buddha adalah benar Makhluk Ilahi, seperti Buddha-Buddha sebelumnya yang dianggap sama dengan Awatara-Awatara, mengajarkan Dharma yang sama.[28]
Namun umat Buddha tidak memandang Buddha sebagai Awatara. Sekalipun diakui dalam suatu masa tertentu hanya muncul seorang Sammasambuddha (Vbh. 336), Buddha sendiri tidak pernah menyatakan diri-Nya Awatara. Buddha lebih dipandang sebagai seorang manusia, manusia yang luar biasa.[29] Hal ini mudah dimengerti, karena setiap orang memiliki potensi untuk menjadi Buddha.
Thubten Chodron melihat ada tiga cara pandang mengenai siapa sebenarnya Buddha. Cara yang pertama, melihat-Nya sebagai Buddha historis, yang dilahirkan sebagai manusia dan kemudian meninggal dunia. Ia seorang penunjuk jalan, yang sekaligus memberi contoh kepada manusia. Cara yang kedua adalah dengan memahami Buddha sebagai manifestasi keluhuran yang transenden, yang muncul dalam berbagai bentuk dan simbol untuk berbagai fungsi. Ada banyak Buddha yang masing-masing menonjolkan salah satu aspek dari nilai-nilai kebuddhaan. Hakikat dari semua manifestasi yang beragam sesungguhnya adalah sama. Cara yang ketiga memahaminya sebagai Buddha masa mendatang, yang muncul dalam diri kita, karena kita semua memiliki potensi untuk menjadi Buddha.[30]
Berbagai pernyataan Buddha sendiri dapat memberi gambaran yang lebih lengkap mengenai Buddha transenden. Seorang petapa, Dona namanya, bertanya-tanya tentang diri Buddha Gotama. “Yang Mulia tentu adalah seorang dewa” katanya. “Tentu saja bukan, Petapa, Aku bukan dewa” jawab Buddha. Dona bertanya lagi, dan Buddha menjawab bahwa Ia bukan gandarwa, bukan pula yaksa. Akhirnya Dona berkata, “Yang Mulia tentu seorang manusia.” Buddha menjawab, “Tentu saja bukan, Petapa, Aku bukan manusia.” Buddha menggambarkan diri-Nya bagai sekuntum bunga teratai yang elok, tidak menjadi kotor karena air lumpur. Ia tidak dicemari segala kotoran duniawi, karena itu Dia adalah Buddha (A. II, 37).
Di hadapan Upaka, Buddha mengucapkan syair yang isinya antara lain bahwa Ia adalah Penakluk yang melampaui segalanya, Yang Mahatahu, telah mengatasi kematian berkat kekuatan diri-Nya sendiri. Dalam dunia dengan para dewanya, tidak ada seorang pun yang menyamai dan menandingi-Nya. Ia tidak mempunyai guru. Ia sendiri adalah Guru yang Tertinggi, karena Yang Sempurna di dunia (Vin. I, I,8). Buddha menyatakan Ia tidak mempunyai guru, padahal sebelum mencapai Penerangan Sempurna, sebagai seorang petapa, Ia pernah berguru kepada Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta. Jelas kita harus membedakan sosok Sidharta Gotama dengan Buddha Gotama.
Buddha terlahir karena kasih kepada dunia, untuk kepentingan, kesejahteraan dan kebahagiaan dari para dewa dan manusia (A. I, 22). Ia berprasetia untuk menyelamatkan semua makhluk. “Para Biku, Aku adalah Brahmana, tempat makhluk-makhluk mendapatkan pertolongan, senantiasa dengan tangan terbuka yang suci, menggunakan badan jasmani-Ku yang terakhir, seorang dokter dan ahli bedah yang tiada bandingnya. Kalian adalah anak-anak-Ku sendiri yang sejati, terlahir dari mulut-Ku, terlahir dari Dharma, tercipta oleh Dharma, mewarisi hal-hal batiniah, bukan keduniawian” (It. 100). “Mereka yang belum selamat, akan Aku tuntun menjadi selamat. Mereka yang belum mencapai kebebasan, akan Aku bawa mencapai kebebasan. Mereka yang belum tenteram, akan Aku buat menjadi tenteram. Mereka yang belum mencapai Nirwana, akan Aku tuntun mencapai Nirwana. Aku memahami dunia sekarang ini dan dunia yang mendatang sebagaimana keadaan yang sesungguhnya. Aku Mahatahu, Maha Melihat, memahami Jalan, Pembuka Jalan, Pembabar Jalan itu. Datanglah kepada-Ku, kalian semua, para dewa, manusia, asura dan lain-lain untuk mendengarkan Dharma” (Saddharmapundarika-sutra V)
Sifat adikodrati seorang Buddha dapat dilihat dari berbagai mukjizat, apakah itu gejala alam atau kekuatan supernatural yang ditunjukkan sejak saat kelahiran-Nya. “Ananda, bila dikehendaki-Nya, Tathagata dapat memperdengarkan suara-Nya sampai sistem alam semilyar tata surya raya ini, atau melebihinya jika Ia mau (A. I, 226).
Ketika Buddha menjelaskan mengenai delapan jenis himpunan,[31] Ia berkata, “Sebelum Aku duduk di sana atau bersabda kepada mereka atau memulai suatu percakapan dengan mereka, Aku biasa membuat penampilan-Ku sama dengan mereka, bersuara menyerupai suara mereka. Kemudian Aku biasa memberi petunjuk, membangunkan semangat, mendorong dan menggembirakannya dengan uraian Dharma. Namun mereka tidak mengenal Aku ketika Aku berbicara, serta tanyanya, siapa gerangan yang berbicara demikian? Seorang manusia ataukah dewa? Setelah memberi petunjuk, membangunkan semangat, mendorong dan menggembirakan mereka dengan uraian Dharma, Aku pun menghilang. Namun mereka tidak mengenal Aku sampai Aku menghilang sekali pun, serta tanyanya, siapa gerangan Dia yang telah menghilang itu? Seorang manusia ataukah dewa?” (D. II, 109).
Tathagata jelas bukan apa yang dilihat sebagai manusia. Buddha bersabda, “Subhuti, jika ada orang mengatakan Tathagata itu datang atau pergi, duduk atau berbaring, orang tersebut tidak mengerti akan maksud ajaran-Ku. Mengapa? Karena Tathagata tidak datang dari mana-mana pun tidak pergi ke mana-mana. Oleh sebab itu Ia disebut Tathagata.” (Vajracchedika-prajna-paramita-sutra 29). “Barangsiapa mengidentifikasikan Aku dengan suatu bentuk yang terlihat, atau mencari-Ku melalui bunyi yang terdengar, orang itu sebenarnya berjalan menyimpang dan tidak akan dapat melihat Tathagata yang sejati” (Vajracchedika-prajna-paramita-sutra 26).
Dalam Agganna-sutta, yang memberi gambaran tentang evolusi dunia, tercatat kata-kata Buddha sebagai berikut: “Vasettha, barangsiapa berkeyakinan teguh kepada Tathagata, berakar, kokoh, kuat dan mantap, sebuah keyakinan yang tidak dapat ditumbangkan oleh petapa, brahmana, dewa, Mara, atau Brahma, atau siapa pun juga di dunia ini, dapat menyatakan, ‘Aku ini sesungguhnya putra Bhagawa, dilahirkan dari mulut-Nya, dilahirkan dari Dharma, diciptakan oleh Dharma, ahliwaris Dharma. Karena apa? Oleh karena, Vasettha, nama-nama berikut ini adalah serupa dengan Tathagata: Tubuh Dharma (Dharmakaya), Tubuh Brahma, Perwujudan Dharma dan Perwujudan Brahma”(D. III, 84).
Konsep Dharmakaya ini juga ditunjukkan oleh pernyataan Buddha kepada Vakkali, “Barangsiapa melihat Dharma, ia melihat Aku. Barangsiapa melihat Aku, ia melihat Dharma” (S. III, 120). Pada kesempatan lain Buddha berkata, “Semenjak saat ini, semua siswa-Ku harus tahu bahwa Dharmakaya dari Tathagata adalah kekal” (Mahaparinirvana-pacchimovada-sutra 20). Dalam naskah Pali disebutkan ucapan Buddha di hadapan Ananda, “Apabila Tathagata menghendaki, Ia dapat hidup sepanjang satu masa-dunia atau sampai akhir dari masa-dunia yang sedang berlangsung ini” (D. II, 103). Namun dalam naskah Sanskerta Tathagata itu dipandang selamanya ada. “Demikianlah, semenjak Aku menjadi Buddha di masa yang telah lama berlalu, masa hidup-Ku adalah sebanyak asamkheya-kalpayang tak terbatas, selamanya akan ada dan kekal abadi (Saddharmapundarika-sutra XVI). “Dan Aku jelaskan pula kepada mereka setingkat demi setingkat sesuai dengan kemampuan dan derajat kesanggupannya, tentang nama-Ku yang berbeda-beda dan tentang jangka waktu masa hidup-Ku serta dengan sederhana pula Aku nyatakan kepada mereka bahwa Aku harus masuk Nirwana”(Saddharmapundarika-sutra XVI).
Sebenarnya terminologi kekal bagi Tathagata itu kurang tepat, karena Ia akan dihubungkan dengan zat pencipta. Menurut paham para filsuf, zat pencipta adalah sesuatu yang tidak diciptakan dan kekal abadi. Sebaliknya, jika Tathagata tidak kekal, Ia akan dihubungkan dengan sesuatu yang diciptakan. “Di mana terdapat dualisme, Mahamati, di sana terdapat kekekalan dan ketidakkekalan, karena tidak hanya salah satu. Mahamati, yang esa bersifat mutlak, tentu bukan dualisme, karena segalanya tidak bersifat ganda dan tidak dilahirkan. Dengan alasan ini, Mahamati, Tathagata, Arahat yang telah mencapai Penerangan Sempurna bukan kekal atau pun tidak kekal” (Lankavatara-sutra 218).
Dalam ungkapan yang serupa Buddha berkata kepada Anuraddha, “Karena seorang Tathagata, bahkan meskipun benar-benar hadir, tidaklah dapat dipahami menurut realitas sejati; adalah tidak tepat untuk mengatakan tentang Dia – Tathagata, Orang yang sepenuhnya mengatasi dunia, Yang Mahasempurna, yang mencapai Kebebasan Mutlak – dengan pernyataan ini, bahwa setelah wafat Tathagata itu ada, atau tidak ada, atau ada dan tidak ada, atau bukan ada maupun bukan tidak ada” (S. III, 118). Di sini kita menyadari bahwa pengungkapan Realitas Tertinggi, Yang Mutlak, menghadapi keterbatasan berbahasa.
Trikaya
Hakikat kebuddhaan adalah Dharmakaya yang absolut. Yang Mutlak ini bersifat kekal, meliputi segalanya, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, bukan realitas personifikasi, esa, bebas dari pasangan yang berlawanan, ada dengan sendirinya, bebas dari pertalian sebab akibat. Tubuh Dharma ini disebut juga Rahim Tathagata (Tathagata-garbha).
Keterlibatan dalam dunia yang bersifat relatif dimungkinkan jika Buddha mengambil bentuk yang berwujud dan tampak secara fisik sehingga dapat dipahami dan diterima oleh segala makhluk. Dengan cara itu Buddha bekerja untuk menyelamatkan dunia.[32] Tubuh yang tampak tersebut adalah Sambhogakaya dan Nirmanakaya. Sambhogakaya, yaitu Tubuh Rahmat atau Tubuh Cahaya, sering dinyatakan sebagai perwujudan surgawi yang dapat dilihat oleh makhluk surga dan Bodhisattwa. Seorang Buddha menyadari kebuddhaan dengan memiliki tubuh ini. Buddha memakai Tubuh Cahaya untuk mengajar para Bodhisattwa. Nirmanakaya, yaitu Tubuh Perubahan, yang dapat dilihat oleh manusia, dipakai untuk mengajar manusia biasa. Buddha Gotama sebagai Buddha historis adalah wujud Nirmanakaya.
Ketiga tubuh Buddha tersebut dinamakan Trikaya. Sumber doktrin Trikaya ini antara lain Kitab Avatamsaka-sutradan Mahayana-sraddhotpada-shastra. Kitab yang disebut belakangan adalah karya Asvaghosha sekitar abad ke-1 Masehi. Sistematika doktrin Trikaya dibuat untuk menerangkan kedudukan dan hirarki para Buddha dengan para Bodhisattwa.
Bagaimana dapat Yang Mutlak dilukiskan, dijelaskan atau diajarkan? Hanya melalui atributnya saja Yang Mutlak itu dapat diperlihatkan, sehingga apa yang absolut hanya bisa dikenali secara parsial dari sejumlah atribut. Dharmakaya divisualisasikan dalam konsep Panca-Tathagata yang disebut pula Panca-Jina (Penakluk), atau sekarang ini lebih dikenal sebagai Panca-Dhyani-Buddha, yang masing-masing menempati posisi tertentu di alam semesta. Setiap nama merepresentasikan sifat Tathagata. yang dibayangkan oleh manusia. Wairocana (penerang agung) di tengah, Aksobhya (ketenangan tak tergoyahkan) di timur, Ratnasambhawa (terlahir dari permata) di selatan, Amitabha (cahaya tanpa batas) di barat dan Amoghasiddhi (selalu berhasil) di utara. Kedudukan ini dihubungkan dengan pengertian mandala, suatu lingkaran magis yang mencerminkan alam semesta.
Sebagai Dharmakaya, Dhyani-Buddha selalu dalam keadaan berkontemplasi (dhyana). Melalui kontemplasi, Dhyani-Buddha memancarkan (emanasi) atau menciptakan dari dirinya sendiri Sambhogakaya berwujud Jinaputra atau lebih dikenal dengan sebutan Dhyani-Bodhisattwa. Dhyani-Bodhisattwa yang jumlahnya lima, satu untuk setiap Dhyani-Buddha, mengambil peran di dunia. Kelima Jinaputra itu adalah Samantabhadra, Wajrapani, Ratnapani, Awalokiteswara (Padmapani) dan Wiswapani.
Pada masa yang kritis, Dhyani-Bodhisattwa mengambil wujud manusia untuk mengajarkan Dharma. Di sini Nirmanakaya mengambil alih tugas sebagai Manushi-Buddha. Setiap Dhyani-Bodhisattwa memiliki satu Manushi-Buddha. Kelima Manushi-Buddha itu adalah Kakusandha, Konagamana, Kassapa, Gotama dan Maitreya. Ketika Tubuh Perubahan yang berupa manusia itu rusak karena kematian, tugasnya dikembalikan kepada Dhyani-Bodhisattwa yang bersangkutan. Dhyani-Buddha, Dhyani-Bodhisattwa dan Manushi-Buddha tertentu bekerja untuk satu zaman secara bergantian. Di zaman sekarang, yang memegang peran adalah Amitabha sebagai Jina, Awalokiteswara sebagai Jinaputra dan Gotama sebagai Manushi-Buddha-nya. Di zaman berikutnya mereka digantikan oleh Amoghasiddhi, Wiswapani dan Maitreya.
Adi-Buddha
Terdapat banyak Buddha, tetapi hanya ada satu Dharmakaya. Dharmakaya yang merupakan sumber perwujudan Panca-Dhyani-Buddha dinamakan Adi-Buddha. Sebutan Adi-Buddha berasal dari tradisi Aisvarika (Isvara, Tuhan, Maha-Buddha) dalam aliran Mahayana di Nepal, yang menyebar lewat Benggala, hingga dikenal pula di Jawa.
Adi-Buddha merupakan Buddha primordial, Yang Esa, atau dinamakan juga Paramadi-Buddha (Buddha yang pertama dan tiada banding), Adau-Buddha (Buddha dari permulaan), Anadi-Buddha (Buddha yang tidak diciptakan), Uru-Buddha (Buddha dari segala Buddha). Juga disebut Adinatha (Pelindung Pertama), Swayambhu (Yang ada dengan sendirinya), Swayambhulokanatha (Pelindung dunia yang ada dengan sendirinya), atau Sanghyang Adwaya (Tiada duanya).
Dalam bahasa Tionghoa Adi-Buddha disebut Pen-chu-fo atau Paramadi-Buddha diterjemahkan sebagai Sheng-chu-fo. Di Tibet disebut sebagai Dan-pohi-sans-rgyas, Mchog-gi-dan-pohi-sans-rgyas, atau Thog-mahi-sans-rgyas, yang kesemuanya menunjukkan Buddha dari segala Buddha, yang mula-mula tampak, sebagai yang pertama. Adi-Buddha timbul dari ‘kekosongan’ (sunyata) dan dapat muncul dalam berbagai bentuk sehingga disebut Visvarupaserta nama-Nya pun tidak terbilang banyaknya. Adi-Buddha sering diidentifikasikan sebagai salah satu Buddha mistis, berbeda-beda menurut sekte. Dengan memahami arti dari setiap sebutan, kita akan menyadari bahwa yang dimaksud sebenarnya sama. Seperti sebutan Yang Mahaesa, Yang Maha Pengasih, Yang Mahatahu dan sebagainya yang bermacam-macam, sama menunjuk pada sifat dari Tuhan yang satu.
Adi-Buddha disamakan dengan Manjusri (kesempurnaan kebijaksanaan), sebagai ‘Ibu para Buddha’, atau Wajradhara (pemangku kekuatan mistik yang tak dapat musnah), Dalam paham Tibet Wajradhara itu Samantabhadra (berkah selamat universal), atau Wajrasatwa (makhluk intan). Dalam paham Jepang adalah Wairocana. Di Jawa dan Sumatera sinkretisme Siwa-Buddha yang dianut oleh Kartanagara dan Adityawarman menunjukkan wujud Bhairawa (Siwa) yang menjunjung Aksobhya pada mahkotanya. Wajradhara adalah gelar yang diberikan kepada Aksobhya. Dalam Kitab Kunjara-Karna, yang dijunjung Wairocana. Namun dinyatakan semua bentuk identifikasi tersebut, bahkan Siwa dan Buddha sekali pun, tunggal adanya. Dapat dimengerti kalau semua patung di Candi Borobudur yang berbeda-beda nama memiliki bentuk atau wajah yang serupa, hanya dibedakan menurut sikap tangan atau mudra dan kedudukan mata angin.
Menurut Perguruan Vetulyaka Lokottaravada, Buddha Gotama yang secara historis dikenal sebagai Manushi-Buddha sebenarnya adalah representasi Adi-Buddha di dunia. Dalam Kitab Mahavastu dinyatakan sejak awal mulanya, jauh di masa silam yang tak terbilang lamanya, Sakyamuni asalnya sudah Buddha. Kemunculannya di bumi pada zaman ini termasuk pencapaian Nirwana, merupakan wujud kuasa gaib-Nya semata-mata, gejala dari Nirmanakaya.
Konsep mengenai Adi-Buddha terdapat dalam Kitab Namasangiti, Karanda-Vyuha, Svayambhu-Purana, Maha-Vairocanabhisambodhi-sutra, Guhya-samaya-sutra, Tattvasangraha-sutra, dan Paramadi-Buddhodharta-Sri-Kalacakra-sutra. Di Indonesia dikenal kitab Namasangiti versi Chandrakirti dari Sriwijaya dan Sanghyang-Kamahayanikan dari zaman pemerintahan Mpu Sindok.
Walau umat Buddha menyebut Tuhan Yang Mahaesa dengan nama yang berbeda-beda, Peraturan Pemerintah RI No. 21 Tahun 1975 tentang Sumpah/ Janji Pegawai Negeri Sipil, mempergunakan sebutan Adi-Buddha. Menurut peraturan itu, bagi mereka yang beragama Buddha, kata-kata “Demi Allah” diganti dengan “Demi Sanghyang Adi-Buddha.”
MANIFESTASI KEYAKINAN TERHADAP TUHAN YANG MAHAESA
Keyakinan terhadap Tuhan Yang Mahaesa dengan sebutan atau nama yang berbeda-beda adalah pengakuan akan kebesaran Tuhan yang tak dapat dijelaskan secara tepat. Tingkat pemahaman akan hakikat Tuhan bisa berbeda-beda pada setiap manusia. Keyakinan ini membawa konsekuensi kepada kita untuk bersikap saling menghormati, toleran, memelihara kerukunan dan bekerja sama antar-pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda, apalagi antarsekte.
Keyakinan bahwa Tuhan Yang Mahaesa mengatasi dunia, mendorong agar kita mengembangkan pemahaman, hingga mampu membebaskan diri dari semua rintangan duniawi, melalui penembusan Bodhi, untuk sampai kepada-Nya. Karena Tuhan Yang Mahaesa itu juga Mahatinggi, Mahaluhur, Mahasuci, Mahasempurna, manusia yang percaya dan memuja-Nya akan selalu mencintai segala sifat-sifat-Nya yang mulia, mengembangkan sifat-sifat itu dalam diri masing-masing. Salah satunya Brahma-vihara atau “Kediaman Luhur” yang bisa diartikan sebagai “Rumah Tuhan”, yaitu cinta kasih (metta), belas kasihan (karuna), simpati (mudita) dan keseimbangan batin (upekkha).
Keyakinan terhadap Tuhan Yang Mahaesa sebagai Kebenaran Mutlak atau Dharma yang menguasai dan mengatur alam semesta, serta melindungi mereka yang melaksanakan kebenaran, membuat kita selalu menjauhi kejahatan dan tidak menentang hukum alam. Menyadari kehadiran-Nya yang tidak dibatasi ruang dan waktu, membuat kita senantiasa merasa dekat dengan-Nya dalam kehidupan sehari-hari, di dunia luar hingga di dalam hati.
Umat Buddha memandang Buddha, Dharma, dan Sangha, atau Triratna sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Mahaesa dalam dunia ini. Keyakinan terhadap Tuhan yang Mahaesa identik dengan keyakinan kepada Triratna. Karena itu umat Buddha berlindung kepada Triratna sebagai penuntun hidup dan pembawa inspirasi. Beriman kepada Triratna membuat seorang umat Buddha dengan mantap memiliki kekuatan, selalu berusaha untuk meninggalkan hal-hal yang buruk dan mengembangkan hal-hal yang baik, bersemangat sekuat tenaga melatih diri dan tidak melepaskan tanggungjawab (S. V, 226).
Catatan Kaki
[1] Lihat David J. Kalupahana, Filsafat Buddha, Sebuah Analisis Historis, diterjemahkan oleh Hudaya Kandahjaya, Jakarta: Erlangga, 1986, hlm. 5-7.
[2] Narada, A Manual of Abhidhamma, Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1979, hlm. 424.
[3] W. F. Jayasuriya, The Psychology and Phylosophy of Buddhism. Kuala Lumpur Malaysia: Buddhist Missionary Society, 1976, hlm. 6 dan 7
[4] Heru Suharto, Kesesatan-Kesesatan dalam Penalaran, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994, hlm. 53 dan 59-62.
[5] Kalupahana, op.cit., hlm. 18
[6] Ibid., hlm. 5 dan 8.
[7] Ibid., hlm. 16
[8] Ibid., hlm. 16 dan 19.
[9] Jayasuriya, op.cit., hlm. 217.
[10] Kalupahana, op.cit., hlm. 17
[11] Kalupahana, op.cit., hlm 126-127.
[12] Ibid., hlm. 130.
[13] L. Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, diterjemahkan oleh D. F. Pears dan B. F. Mc Guiness, London: Routledge and Kegan Paul, 1961, dikutip oleh I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 87.
[14] Sangharakshita, Maha Sthavira, Zen Intisari Ajaran, diterjemahkan oleh E. Suwarnasanti, -: Karaniya, 1991, hlm. 32.
[15] M. Heidegger, On the Way to Language, diterjemahkan oleh P. Herts, New York: Harper and Row, 1971, hlm. 122, dikutip oleh Sugiharto, op.cit. hlm. 88-89.
[16] Nandasena Ratnapala, Buddhist Sociology, Delhi India: Sri Satguru Publications, 1993, hlm. 16-17.
[17] Sugiharto, op.cit., hlm. 18-19.
[18] Ibid., hlm. 109.
[19] Huston Smith, Agama-Agama Manusia, diterjemahkan oleh Saafroedin Bahar, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985, hlm. 167.
[20] HM. Quraish Shihab, “Agama: Antara Absolusitas dan Relativitas Ajaran”, dalam Agama dan Pluralitas Bangsa (Seminar Sehari), pengantar oleh Soetjipto Wirosardjono, Jakarta: P3M, 1991, hlm. 42-43.
[21] Franz Magnis Suseno SJ. “Agama: Antara Absolusitas dan Relativitas Ajaran”, ibid., hlm. 50 dan 52.
[22] Lihat pengantar Huston Smith dalam Frithjov Schuon, Mencari Titik Temu Agama-Agama, diterjemahkan oleh Saafroedin Bahar, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, cetakan ke-3, 1996, hlm. x, xiii. Smith menjelaskan dengan mengutip Tao Te Ching, bab 56: Mereka yang mengatakan tidak tahu; mereka yang tahu tidak mengatakan.
[23] Muhamad Wahyuni Nafis, “Referensi Historis bagi Dialog Antaragama”, dalam Nurcholish Madjid et al, Pasing Over, Melintasi Batas Agama, editor Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus, Jakarta: Gramedia, 1998, hlm. 85.
[24] Corneles Wowor et al., Buku Materi Pokok Pendidikan Agama Buddha, Modul 1-3, Jakarta: Universitas Terbuka, 1985, hlm. 31.
[25] Kalupahana, op.cit., hlm. 4
[26] Nafis, op.cit., hlm.99.
[27] Nyoman S. Pendit, “Avatara”, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 2, 1988, hlm.446. Ke-10 Awatara itu adalah Matsya, Kurma, Waraha, Narasinha, Wamana, Parasurama, Rama, Krishna, Buddha, dan yang akan datang Kalki.
[28] Jamshed Fozdar, The God of Buddha, Ariccia (RM), Italy: Casa Editrice Baha’i Sri, 1995, hlm. 27-28.
[29] Narada, Sang Buddha dan Ajaran-Ajaran-Nya bagian 1, Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, – , hlm. 29-31.
[30] Thubten Chodron, Agama Buddha dan Saya, diterjemahkan oleh E. Suwarnasanti, Bandung: Karaniya, 1990, hlm. 12-22.
[31] Himpunan dari para bangsawan, brahmana, perumah-tangga dan petapa, serta golongan makhluk dari alam Empat Dewa Raja, alam Tiga puluh tiga Dewa, para Mara dan Brahma.
[32] Lihat Trevor O. Ling, “Buddha-kaya”, dalam SGF Brandon (ed.) A Dictionary of Comparative Religion, 1970, hlm. 156-157.
The post Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Perspektif Agama Buddha appeared first on Diandharma.org.
Source: https://diandharma.com